Jumat, 23 November 2018

Kerinci, Negeri Khayangan di Provinsi Jambi

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh 

Tulisanku datang lagi karena mood nulis lagi tinggi. Semoga kalian yang baca tulisan ini diberi semangat yaa untuk melanjutkan aktivitas hari ini. 

Danau Kerinci senja hari


Melihat draf rencana tahunan yang kubuat, Selain Project Dalam Negeri -yang berisi impian-impianku untuk memperkenalkan Sadu- aku juga punya project lain yang ku namai Project Katak dalam Tempurung. Project ini adalah project untuk mewujudkan mimpi-mimpiku ke luar dari tempurung. Yeay!. Jadi, dalam setahun minimal ada satu Project keluar dari Sadu dan belajar banyak hal lebih real di tempat itu. Bisa dibilang, ini project jalan-jalan keliling Indonesia -meski terlihat ngimpi-.


Kerinci!.


Meski masih di dalam Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Kerinci udah termasuk project yang amazing banget. Ini project ke tiga ku setelah yang pertama kalinya ada Banyuasin -yang ternyata isinya sama kayak sadu- dan ke Bangko yang endingnya haru biru. Aku ke kerinci ini bareng bos dan teman-teman kantor di BP3K Sadu tiga tahun yang lalu (Akhir 2016). Tujuannya kayak Field Trip gitu lah. Waktu itu kami berangkat satu mobil setelah acara tahunan Penyuluh, Temu Teknis. Ada bos, Pak Asril, Bang Bambang -Kasubag TU-, dua brother si Heri dan Sudik serta Pak Ketut. Emang aku cewek sorang-sorang, karena pada waktu itu emang aku satu-satunya penyuluh perempuan di Sadu. Kalo mikir itu aku gak jalan-jalan. Lagi pula mereka itu udah kayak keluarga di kantor.

Kami berangkat pagi sekali, sekitar jam setengah enam gitulah. Sebelum berangkat aku udah di bully duluan sama dua tukang bully Heri dan Kak Sudik. Suruh minum Antimo, nanti mabuk karena perjalanan bakal jauh. Uh, mereka remeh banget dah. Emang ya, orang laut sanggup naik kapal laut berjam-jam gak mabuk laut. Tapi di darat, belum tentu loh. Aku karena udah lama di kampung, gak pernah naek mobil lagi -seringnya naek speedboat sama pompong- khawatir juga. Jadi, nurut aja saran mereka untuk minum Antimo. Hahahaaha.

Selama perjalanan kami mampir-mampir ke beberapa tempat. Sarapan di rumah saudaranya Bang Bambang, Makan siang dirumah saudaranya Bos. Kata Bang bambang, jadi penyuluh itu kalo jalan-jalan kayak gini jangan takut lapar atau gak ada tempat nginap. Setiap desa di Indonesia ada penyuluhnya, kalo nyasar atau butuh bantuan hubungi saja penyuluhnya. Mereka pasti bantu. Bahkan katanya hubungan antar penyuluh lebih akrab daripada hubungan antar guru. Kalau di fikir-fikir ya, hampir semua penyuluh itu suka ngota (maksudnya suka ngobrol gitu loh -karena emang kerja kan gitu sama petani-), penyuluh juga suka berkenalan dengan orang-orang baru (karena kebiasaan kerjanya kayak gitu -wilayah baru, orang baru, keluarga-). Jadi kayaknya wajar kalau dia ngomong begitu. Tapi aku belum pernah coba. Hahahaha

Sebelum sampai ke Kerinci, Kami ke Geopark Merangin dulu. Geopark Merangin itu katanya tempat situs warisan peninggalan zaman purba (baru baca di gugel setelah pulang). Sewaktu kesana, aku gak

mikir bakal lihat batu-batu tua atau apa lah itu. Sampe sana aku takjub ada banyak pohon, hutan dan sungai berarus deras dengan bebatuan di dasarnya. Ini, persis banget dengan imajinasiku di novel My Stupid Brain's Story. Suara angin, suara sungai, suara burung, damaiiii baeudd. Rasanya aku mau bangun rumah di sana. Hohoho. Maklum lah, orang tepi laut kan emang gak pernah lihat kayak ginian.

Setelah puas ngambil bukti pernah ke sana, kami melanjutkan perjalanan. Nah perjalanan selanjutnya ini buat aku takjub takjub dan takjub banget. Jalanan yang berkelok, turun naik bahkan sampe telinga ngilu buatku ngucap. Subhanallah -Maha suci Allah-, rasanya terharu, pengen nangis eh, dahan-dahan pohon yang besar tumbuh di bawah tebing, di bawahnya sungai, di seberangnya mereka tumbuh menentramkan hati. Mereka kayak manusia yang hidup dengan wajah polos sepolos-polosnya. Rasanya pengen peluk, pengen ah padahal itu cuma pohon loh. Trus dari kejauhan bukit-bukit terlihat dari jauh, jalan yang kami lewati kayak ular yang sebagian hilang di balik bukit.


Di sepanjang perjalanan emang gak pernah berenti ngucap. Rasanya bersyukur banget masih di kasih Allah kesempat untuk melihat keindahan seperti ini. Rasanya, ini bukan di dunia. Emang ini terlihat lebay banget deh. Tapi, bagi orang laut yang tiap hari lihat sungai, laut, pantai, melihat sesuatu yang beda dan gak ada di tempatnya pasti akan takjub seperti ini. Kalau pun ada yang gak selebay itu, berarti aku emang benar-benar katak dalam tempurung akut!.

Duo tukang bully sempat bully katanya aku norak. Hahaha, masa bodoh lah. Memasuki perbatasan Kerinci, mereka udah senyap. Si Heri udah KO manggil Wak. Aku masih sempat bantu nyariin Salon Pas sebelum dia manggil Wak-nya. Kak Sudik udah pucat pasi, entah karena kedinginan atau gimana gak tau lah. Dipasangin Salon Pas juga sama Pak Ketut yang duduk di belakangnya. Setiba kami di perbatasan Kerinci -yang ada tulisan Kabupaten Kerinci itu loh- kami istirahat dan akhirnya Kak sudik manggil Waknya juga sembunyi-sembunyi tapi katehuan. Ngakak so hard. Tukang Bully yang kena batunya mereka. Hahahahaha.


Putih-putih itu bukan sarang laba-laba loh, tapi plastik hurufnya belum dilepas



Emang ya ke Kerinci harus punya mental dan nyali kuat. Jalannya berkelok-kelok. Kiri tebing, kanan jurang. Wajar deh, kalo dalam perjalanan ini ada yang mabuk. Beruntungnya aku aman hahhaaha -mungkin karena fokusku keganti sama pohon dan bukit di sepanjang jalan-.


Jam lima sore kami sampe ke Danau Kerinci. Udaranya dingin banget, kalo di Sadu kayak hujan deras gitu. Kami mampir sebentar dan foto-foto disana. Menjelang Magrib kami melanjutkan perjalanan ke rumah saudaranya Bos dan menginap disana.


Danau Kerinci - saja foto tangan biar bukti kalo foto ini bukan nyomot di gugel


Mandi?. Skip!!


Aku yakin perjalanan kami gak keringatan kok. Hahaha. Duh, dingin banget. Aku suka kerinci, tapi aku gak sanggup dingin kayak gini. Padahal kata Bos, dulu kerinci lebih dingin dari ini. Air minumnya dingin loh kayak minum es. Trus, alas kasur dan selimut yang di sediain kayak habis di masukin kulkas. Aku yang tiap hari berpanas-panasan sampe 34' celcius trus ketemu dengan suhu dingin Kerinci -16'C - 24'C- rasanya belum bisa beradaptasi. Pagi-paginya disuruh mandi karena mau jalan-jalan. Itu nyiksa banget!. Huhuhu.


Makan malam di Kerinci - (ki-ka) : Aku, Heri, Kak Sudik, Bang Bambang - Yang motoin Pak Ketut


Bangun pagi, aku buka jendela rumah dan sekali lagi aku takjub!. Rumah saudaranya Bos ini kayak rumah lama, panggung dari kayu. Jadi, pas buka jendela atap-atap rumah tetangganya kelihatan dan bukit dibelakangnya juga terlihat lebih dekat. Lalu, awan-awan turun seolah dapat dicapai dengan tangan. Ya Allah, aku di ketinggian berapa meter ini sampe bisa lihat awan sedekat ini. Ini keren banget, menginspirasi dan aku akui untuk pertama kalinya aku terbesit ingin punya rumah di Kerinci! -mengabaikan suhunya yang dingin-.


Penampakan Bukit dan awan yang turun dari jendela



Pagi sekali kami jalan-jalan ke BP3K Pondok Tinggi Kabupaten Sungai Penuh. Setauku, sungai Penuh dulu masuk kabupaten Kerinci. Trus pemekaran daerah gitu. Jadi BP3K yang kami datangi ini ada di Kabupaten Sungai Penuh. BP3K Pondok Tinggi waktu itu baru saja di bangun dan belum di resmikan. Disana kami di sambut sama penyuluh-penyuluh dari Pondok Tinggi. Banyak ceweknya loh, kan seru. Jadi, selama di ajak mereka jalan-jalan, aku di tarik ikut ke mobil mereka. Ada ibu Kepala BP3Knya bu El (Kalo gak salah, benar), kami sempat mampir kerumahnya dulu dan melihat pemanfaatan pekarangan rumahnya yang apik banget. Udah kayak di buku Bahasa Indonesia jaman dulu. Didepannya teras, viewnya sawah dan bukit hijau. Dibelakang rumahnya ada kolam ikan dan ternak unggas. Keren deh.

Kami Diajak jalan ke perkebunan kopi petani. Sambil kesana, kami mampir ke Bukit Khayangan. Di bukit khayangan aku spechless melihat jalan yang kami lewati sebelumnya mengecil di bawah sana. Danau Kerinci terlihat dari atas sini. Padahal tempat kami menginap di tepi Danau Kerinci loh. Mungkin bukit yang ku lihat dari jendela itu, ini kali ya. Wih, keren bangeett!.


Danau Kerinci dari Bukit Khayangan seolah dapat disentuh dengan tangan


Puas ke Bukit Khayangan, kami menuju ke wilayah perkebunan kopi milik Petani di Pondok Tinggi. Perjalanan kami selama dan sejauh itu -bahkan menuju ke perkebunan masyarakat- kami lewati dengan mulus karena jalannya aspal sampe sana. Keren kan?. Nyuluh tanpa hambatan ini mah. Disana kami menemui petani kopi yang telah membesarkan kopinya seperti anak sendiri -eh-. Aku gak tanya-tanya sih kayak yang lain, aku lebih ke nyari lokasi foto, mengamati tempat baru dan curi dengar sedikit. Bapak ini kakinya di patuk ular loh. Katanya udah dua hari tapi gak di bawa berobat. Itu kakinya diikat doang pake kain. Duh, serasa Oom Hazen Audel  yang udah ahli banget di alam bebas. Saking nyantainya, masih bisa ngepul itu loh rokoknya. Emang gak sakit apa ya?. Jadi, karena curi dengar cerita bapak itu, aku yang keliling-keling mengamati spot bagus jadi ngeri mau kemana-mana. Kalau katanya di patuk ular itu tandanya mau nikah, itu artinya ngimpi!.

Pak Bos, Penyuluh teladan di Kecamatan Pondok Tinggi, Petani Kopi dan Ibu El Kepala BP3K Pondok Tinggi.


Di sana, Kebun Kopi jadi primadona petani. Sama Halnya Pinang yang jadi primadona di Sadu. Beberapa tempat ada yang alih fungsi lahan dari perkebunan Teh menjadi Kopi (Kalo gak salah lihat lah ya). Emang kayaknya yang minat kopi lebih banyak dari pada teh. Cowok-cowok cool itu ngopi, bukan ngeteh. Buktinya Chicco Jericho kan gitu ya?. 

Sehabis dari Kebun Kopi kami ke Stand Kopi yang di kelola oleh kelompok tani Kayo. Tingkatan mereka udah tinggi dari petani yang ada di Kecamatanku dengan mengelola hasil pertanian (kopi) mereka dan memasarkannya langsung. Jadi, harga sepenuhnya mereka yang nentukan dan gak tertekan dengan aturan pengumpul/toke. Mereka udah pake kartu nama, itu tandanya usaha mereka udah skala besar. Kami di Ajak melihat pengolahan kopi mereka, trus produk-produk yang mereka hasilkan dalam kemasan dan berkesempatan nyicip kopi yang katanya udah di pasarkan ke luar Sumatera. Keren!.

(ki-ka) : Bu En, Bang Bambang dan Ibu El memasuki ruangan pengelolaan kopi.

Si bapak buat kopinya dengan perasaan. Kayak lagi lomba dan di lihatin juri gitu ya. 

Nih kopinya warnanya kemerahan gini, bukan kayak yang biasa aku lihat.


Jadi, rasa kopinya asem. Hahahah. Sebenarnya aku alumni penikmat kopi hitam -sekarang udah pensiun gegara maag-. Tapi, taunya kopi AAA doang sama kopi buatan tangan nek jaman dulu. Kalo dibilang mungkin kopi jenis ini lagi tren-trennya ya. Tapi, sorry to say aku lebih suka kopi yang biasa di minum datuk dan petani-petaniku di kampung. Pahit, manis dan pekat.

Sehabis itu, kami jalan-jalan lagi ke ketemu petani kentang, petani bawang, dan petani lainnya. Bagi kamu yang gak tau, hampir sebagian besar sayuran yang kita konsumsi di Jambi emang berasal dari sana. Tomat, Cabe, Bawang, Kentang, Wortel, banyak lagi. Kalau ku bilang Kerinci -dan Sungai Penuh- adalah negeri khayangan, ya apa yang telah kulihat dan ku rasakan itu mewakili dan membenarkan semuanya. 

Pulangnya kami sempat mengunjungi Kayu Aro. Tempat yang dulu pengen aku datangi bareng babang Vino G Bastian. Ternyata di Kayu Aro lebih dingin dari yang kami duga. Mungkin karena cuaca pada saat itu gerimis, jadi suhunya dingin banget kayak malam kemarin. Awan-awan turun jadi kayak kabut. Aku ngebayangi film Twilligh dan film Vampire sejenisnya yang setting tempatnya minim cahaya matahari kayak gini. Ditambah lagi perkebunan teh yang tersusun kaku disepanjang perjalanan kami. Kayak di tatapin gitu loh. 

Tujuannya mau ke pemandian air panas, tapi berhubung ternyata kendali berada di bawah tanganku, akhirnya putar balik ke rumah saudara Bos. Tapi sebelum itu sempat mampir ke rumah penyuluh juga temannya bang Bambang dan kami cees bertiga menunggu boring mereka nostalgia semasa SPMA (seharusnya kita nostalgia juga masa kuliah tiga tahun lalu). Akhirnya pulang malam dan larut banget sampe rumah. Karena permintaanku juga mereka membatalkan niatnya untuk langsung ke Padang. Kayak simalakama, mau gimana lagi, lusa udah nikahnya kakak sahabatku (Kak Mah) udah di beliin baju bridesmaid (Baju kopel maksudnya loh) masa gak datang. Sementara mereka (aku juga sih) merasa aku perjalanan ini gak cukup. Belum puas rasanya lama-lama di sini (Maafkan Wina ya man teman, kalo kalian kebaca tulisan ini).

Subuhnya, kami pulang. dalam keadaan ngantuk dipaksa juga pulang biar bisa sampe sadu besoknya. Si Sastra (Menantunya Bos) yang bawa mobil patut di acungi jempol lah. Meski pada suatu kejadian kami hampir tabrakan sama minibus yang kayaknya ngantuk pas bawa mobil. Mana tepinya jurang lagi Ya Allah. Aku yang kaget dan was-was setelahnya teralihkan melihat awan-awan yang turun dan bisa ku sentuh dengan tangan. Aku bahkan mengabaikan mereka yang didalam mobil masih tidur, kedinginan karena aku buka kaca mobil.  Rasanya, uhhh ini benar-benar khayangan. Menulis ini aku masih ingat suasananya ketika itu, aromanya, dinginnya, awan-awan yang menggumpal berarakan, pohon-pohon dan lambaiannya. Seolah bilang "Kembali lagi kesini yaa"

"Ya, kalau ada orang Kerinci yang melamar" Bahahahahahaaha

Lah, ini udah pagi lagi. 
Cerita Project Katak Dalam Tempurung ini aku akhiri.
Aku berharap, suatu saat aku bisa ke Kerinci lagi.

Terimakasih sudah membaca. Tinggalkan jejak untuk ceritaku ini jika kamu berminat. Kritik, saran untuk tulisan ini dengan selapang-lapangnya dibuka.

Sampai jumpa di cerita Project Katak Dalam Tempurung-ku yang lain. Babaiiii.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. 🤗


Minggu, 18 November 2018

Si Mistis Romantis, Pantai Remau


Pantai Remau Baku Tuo - Wina Syahril


Hulla..!!

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh 🙏👋

Duh, rasanya lama banget gak nulis disini. Hohoho. Apapun, aku senang untuk mood dan ide yang tiba-tiba saja terlintas pagi ini utuk menulis di blog -padahal jadwal up novel di Wattpad hari ini loh. Padahal lagi nulisnya malam loh-. Semoga kamu yang sedang baca tulisanku ini selalu diberi kesehatan dan termotivasi hidupnya untuk menjadi lebih baik lagi, Yeyy 🤗. 

Oke, Pantai Remau.

Pantai Remau itu adalah salah satu pantai yang berada di Kecamatan Sadu. Terletak di Desa Remau Baku Tuo, kira-kira 29 km dari pusat pemerintahan kecamatan (sumber : Monografi Desa Remau Bakutuo 2018). Mengikuti jejak saudara-saudaranya yang sebelumnya telah ku ceritakan, Pantai ini gak beda jauh kerennya dengan Si Eksotis Babussalam dan Si Selebriti Jadul, Ujung Jabung. Aku mengenal pantai ini kira-kira sepuluh tahun terakhir -ketika SMA-. Maklum lah, katak dalam tempurung cuma bisa melihat dari lubang tempurung doang. Waks.

Pantai Remau 
Pantai Remau, memiliki pantai yang luas dan landai. Pasirnya hitam, airnya kecoklatan. Di tepian pantai ditumbuhi pohon cemara yang menurutku vegetasinya lebih banyak dari Pantai Babussalam. Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Desa membangun pendopo-pendopo kecil di tepian pantai sebagai tempat istirahat wisatawan yang datang kesana. Di banding keempat 'Maskot' wisata bahari-nya Sadu, Pantai Remau belum se-terkenal ketiga saudaranya. Termasuklah dalam hal ini Pantai Cemara yang jaraknya lebih jauh dari pusat pemerintahan -tapi tetap dekat di hati aku kok, fufufu-.

Pendopo di antara pepohonan cemara - Foto lama masih pake hape jadul

Setiap lebaran, baik itu Idul Adha maupun Idul Fitri Pantai ini menjadi tempat liburan semua kalangan. Termasuklah Kawula muda (et dah!) yang hobi balap motor. Yap, tempat ini langganan banget jadi (apa sebutan untuk tempat balap motor ya?) lokasi untuk balap motor, hahhaha. Pantainya yang landai, luas dan struktur tanahnya berpasir -tapi gak muddy- (maksudnya motornya gak terbenam gitu loh, hahaha bahasaku Ya Allah 😌). Selain itu, jadi tempat mejeng dong. Kalo udah musimnya, disana kamu gak kesulitan menemukan pasangan muda-mudi, tua-tuir yang menikmati momen di pantai itu. 

Wisatawan yang datang ketika libur lebaran Idul Adha. Pohon Cemaranya, rimbun kan?

Pengunjung yang antusias menonton balap motor di Pantai Remau
Pantai ini berhampiran dengan Taman Nasional Berbak loh. Dari pertama datang memasuki desa ini hal yang selalu membuatku berdebar adalah penampakan hutan yang keabu-abuan di sebelah kanan. Dingin, Kaku seolah menyimpan rahasia besar didalamnya. Melihatnya mengundang keingin tahuanku, bagaimana rasanya disana?. Mungkin tanaman disana gak ada yang hidup lagi setelah terjadi kebakaran beberapa tahun silam. Atau mungkin ada bibit-bibit kecil tumbuh di bawahnya yang gak terlihat. Pasti tempatnya menarik kan?. Jadi saksi hidup reinkarnasi pohon-pohon disana itu amazing pasti!. 

Bicara Sejarah .

Nama Remau Baku Tuo (desa yang punya pantai ini loh) di ambil dari kata Remau yang berarti Harimau (Dulu banyak Harimau kali karena emang dekat dengan TNB) dan Baku Tuo yang berarti Bakau Tua (Menuju pantai kamu emang ketemu sama bakau-bakau tua ini). Katanya, dulu penduduknya rame. Mereka bermukim di tepi pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan bercocok tanam (Padi). Namun, beberapa dekade terakhir mereka banyak yang pindah karena ceritanya banyak serangan Bajak Laut. Ada ceritanya, si istri pergi nonton -jaman dulu kan yang punya tv satu dua orang- pulang-pulang suaminya udah tewas di pondok mereka. Mengerikan!. Jadi menurutku wajar-wajar aja sih kalo penduduk pada masa itu memilih pindah. Gara-gara itu jumlah penduduk di Desa Remau Baku Tuo berkurang. Hingga kini, udah mulai ramai lagi dengan datangnya orang-orang Bali dari Lampung untuk bermukim di desa itu (Orang Jawa ada juga sih).

Sepengetahuanku, orang-orang lama yang bermukim di Desa Remau Baku Tuo adalah orang Bugis. Mayoritas mereka bermukim di bagian hilir dekat pantai. Aku pernah bicara empat mata dengan Kepala Desa Remau Baku Tuo -Pak Ambo Tuo- (nggak ding, 20 mata karena ada Babinsa, dua tamu dari Provinsi, dua Petani dan satu wanita tani serta dua anaknya), ceritanya ya kayak yang aku cerita (apaan sih, Hahaha). Dia cerita banyak hal mengenai pantai dan rencananya kedepan untuk mengembangkan pantai itu menjadi tempat wisata yang lebih keren lagi. Dari pada itu, aku teringat ceritanya bahwa ada pemakaman lama di tepi pantai yang gak tau makam siapa aja disitu. Ngewrii 😱. Jadi, Garis pantai ini katanya (kubaca dan ku dengar dari pengamat lingkungan, siapa coba?) setiap tahun semakin naik dan mengurangi luas daratan. Aku pernah cerita itu terjadi di Pantai Ujung Jabung dan pasti terjadi juga di Pantai Remau. Nalarku jalan nih, kemungkinan besar pemakaman di tepi pantai itu adalah tempat pemakaman orang-orang pertama di desa yang katanya tinggal di pinggir pantai. Karena mereka pindah, makanya gak ada lagi sanak saudaranya. Lalu (Deh, aku merinding 😨) jujur seingatku aku pernah melintasi tempat itu bareng teman-teman SMA ketika hendak menuju Pantai Remau -di bagian huluan-. Nisan-nisan yang (duh, kok malah cerita mistis sih!). Oke ceritanya aku skip!.

Oh iya, petaniku (Karena aku Penyuluh di desa ini) nanam Kacang tanah dan kedele loh tak jauh dari pantai ini. Sebenarnya kalau dijadiin Agrowisata, pasti keren banget. Datang ke pantai, panen Kacang atau Jagung, bakar atau rebus sendiri. Selain itu sekitar 50 m (mungkin) dari tepi pantai ada lahan cetak sawah seluas 55 hektar. Jadi, kalau beruntung kamu bisa mendapatkan dua spot foto keren. Apalagi kalau musim padi sedang menguning. Ah, asik banget. 

Nah, kan keren padinya kalo menguning gini. Dibelakangku, sudah kelihatan hutan mangrove dan suara ombak kedengaran dari sini. (Abaikan wajahku yang kusam dan hidungku yang ketarik pipi yak) 

Apa yang ada di pantai ini yang aku rekomend buat kamu-kamu yang baca dan ingin cari tempat liburan baru?. Ok, jangan harap Pendopo, karena udah gak ada lagi. Jangan harap ada tanaman Horti karena itu tergantung musim. Jangan pula berharap dapat dua spot foto Instagramable di lahan cetak sawah, karena beberapa tahun ini petani kami mengalami kegagalan (Gak apa-apa pak, asal jangan gagal dalam rumah tangga 😂). Aku rekomendasikan tempat ini bagi kamu yang ingin ketenangan, ingin pantai yang bersih, ingin balap motor, kemah, ataupun tempat reuni keren. Ah mungkin resepsi pernikanan yang romantis kalau mau 😍👩‍❤️‍💋‍👨. 

Tertarik untuk mengunjunginya?

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak setelah membaca ini yaa. 👇

Salam dari Sadu🙆

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Senin, 06 Agustus 2018

Penghujung Kenangan Ujung Jabung

Assalamualaikum. 🤗

Kali ini aku mau cerita tentang Ujung Jabung. Suatu tempat sejuta kenangan di sudut negeri Jambi. Bagi siapapun yang membaca ini, siapapun yang tau tempat yang ku maksud pasti akan membuka kembali kenangan di tempat ini. 

📷 Eki Ade




Ujung Jabung, sebagian orang menyebutnya Tanjung, Pantai Tanjung dan Pantai Ujung Jabung. Dulu sekali sewaktu kecil, aku dan orang-orang lain mengenal dan menyebutnya dengan Tanjung. Sebuah pantai pasir hitam yang terletak di salah satu sudut pulau sumatra, menjadi bagian dari Provinsi Jambi. 

Seperti yang ku tulis di Awal, menyebut nama itu buat aku (wajib) menapak tilas kenangan masa lalu (Ya, kali kenangan masa depan) tentang aku, orang-orang yang kukenal dan tentang Tanjung yang jadi fokus utama cerita ini. Oke, kita balik ke masa lalu.

Pantai Tanjung itu keren. Sepengetahuanku, Pantai ini sudah ada pada jaman Mak dan Bak masih ABeGe. Tempat dimana anak muda pada jamannya nongki-nongki (Nongkrong) menikmati angin laut sepoi-sepoi memadu asmara. Ecieee 😆. Aku pernah lihat nih, bukti fotonya mereka lagi jalan berduan di pantai. Berhubung barang lama, aku sudah lupa dimana nyimpannya. 

Nah, waktu kecil, setiap lebaran Pantai Tanjung selalu jadi destinasi wisata terfavorit pada zamannya. Dulu, belum ada jalan aspal seperti pada saat ini. Jadi, kami yang ingin kesana harus jalan kaki melewati perkebunan kelapa sejauh tujuh batang parit (ya?) (Lihat di peta, pemukiman pink didekat perbatasan ke ujung jabung jaraknya). Kalo difikir lagi, sekarang itu sudah jadi perjalanan yang melelahkan karena kita sudah terbiasa dengan segala akomodasi yang membuat semuanya menjadii lebih mudah dan lebih cepat. 

Ada dua opsi perjalanan pada masa itu, lewat jalur darat dengan sepeda atau jalan kaki dan lewat jalur laut dengan menyusuri tepian pantai menggunakan pompong. Perjalanan darat dengan berjalan kaki kira-kira memakan waktu satu jam lah -soalnya dulu waktu kecil tidak ngerti jam-jaman-. Perjalanan yang jauh itu kadang buat kami harus bawa bekal utamanya stok air minum. Meski bisa saja ya minum kelapa muda yang bisa di petik kapanpun dan di manapun di sepanjang jalan. Karena perginya rame-rame rasa capek selama perjalan terabaikan. Aku masih ingat jalan-jalan setapak di antara perkebunan kelapa dengan rumput dan semak setinggi  lutut hingga pinggang. Setapaknya ini, cuma bisa di lalui satu sepeda/sepeda motor (Jaman dulu yang punya motor bisa diitung jari).

Lewat jalur laut (Sebenarnya entah ini bisa disebut laut atau tidak), Pompong (kepal kecil) menyusuri tepian pantai (Lihat peta warna coklat susu dari tanda Rumah) menuju Parit 2 Sungai Itik dimana pemukiman cukup banyak berada di sana. Perjalanan menggunakan pompong kayaknya lebih cepat daripada jalan kaki. Cuma, karena menyusuri tepian pantai gelombang samping -bila angin kencang- terasa sangat mengganggu. Sebagai anak laut (Tsah!) ku beri tahu, gelombang samping buat pompong oleng ke kiri dan ke kanan, jika gelombang besar, beresikolah, pompongnya karam. Hahahahaha. Tapi, berhubung jalurnya dangkal, itu tidak seburuk yang aku ceritakan. Kalau mau dinikmati, hembusan angin laut dan salam sapa dari pohon-pohon mangrove dan habitatnya di tepian pantai membuat hari senang. 
Sketsa potensi desa (2013). 

Balik ke Pantai Tanjung!. Tahun dua ribuan (Ini bukan duit ya) Pantai Tanjung yang sempat vakum ngartis, jadi idola lagi. Jaman itu, orang-orang sudah mulai banyak punya kendaraan bermotor dan jalan ke sana sudah ada dalam wujud aspal, yey!. Waktu aku SMA (kira-kira tahun 2007-2010 lah), Pantai Tanjung jadi tempat kami para kawula muda (Et dah, bahasa lama ini, hihihi) nongki-nongki. Pulang sekolah kami bawa bekal dan makan di pondok-pondok yang ada disana. Bila air surut, kami akan jalan ke hujung pantai untuk mencari kerang atau sekedar selfie.

Pantai Tanjung masih jadi tempat ngumpul sama keluarga kalo lebaran. Seolah itu jadi tradisi bagi orang Sadu utamanya orang-orang di Desa Sungai Itik. Kami bawa makanan kesana dan ngumpul dari keluarga yang ada di sini sampe keluarga yang mudik lebaran. Seru deh!. Yang tua-tua duduk di bawah pohon, kadang bawa tikar dan kadang duduk di gelondongan kayu (dari berbagai jenis) mangrove yang tumbang karena erosi pantai. Yang muda, selfie dan sebagian berenang di pantai hitam yang warna airnya kontras itu. Di beberapa tempat kamu bisa melihat sejoli-sejoli yang nongki-nongki. Sebagian banyak anak alay, cabe-cabean dan fans fanatik pria tamvan se Indonesia (hahahaha😄). Seruuu banget. Memorable dah!. 


Momen 2013, lihat foto ini kebayang kan dengan apa yang aku tulis di atas?

Momen 2013 : Anak-anak berenang di pantai. Betewe sekarang mereka udah bukan anak-anak lagi. Hihihi

Tahun 2014, setelah pulang berkelana keluar dari tempurung aku masih melihat primadona ini masih eksis. Seumpama artis, dia itu seperti Meriam Bellina. Ku rasa dia terlalu terkenal. Dia terlalu terkenal, sehingga orang luar tertarik dan ingin membuatnya lebih terkenal. Tapi mereka memodif dan merubah fungsinya. 

Kami sebut dia Pantai Tanjung, lalu mereka sebut itu (Next) Pelabuhan Ujung Jabung. Sebuah mimpi mengawang pada primadona lawas ini. Tidak, sebenarnya ini tidak lagi mimpi karena mereka sudah mulai menyentuhnya untuk me-nyata-kan mimpi besar itu. Yap!, mimpi besar pelabuhan internasional (katanya). Dimana kegiatan expor Impor akan berlangsung disana (katanya).

Kini, Tidak ada pantai lagi. Sedih sebenarnya mengatakan ini. Pohon-pohon yang berjuang untuk tetap ada meski terkikis ombak akhirnya menyerah. Ku beri tahu, selama beberapa dekade (dua dekade doang) aku hidup dan melihat langsung perkembangan Tanjung, dia berusaha untuk tetap ada meski hidupnya ringkih. Setiap tahunnya ombak pantai mengikis tanah, hingga pohon pohon saksi bisu kenangan kami disana satu-persatu gugur. Mereka gugur terganti tiang-tiang besi yang tercacak hingga ke ujung mata memandang. Lalu, aku kehilangan kenangan yang tidak bisa aku ulang lagi. Sedih 😢. 

Bisa dibilang, aku, kami, generasi terakhir yang merasakan bahagianya nongki di Pantai Tanjung. Dibawah pohon, menulis nama di pantai, mengejar ikan tembakul, dan kelak anak cucu kami tidak bisa membayangkannya meski aku menulis ini panjang lebar. Kadang, aku menganggap bahwa aku adalah kaum Laggard (tidak bisa disebut kaum jika aku cuma sendiri). Kadang juga, aku membujuk diri bahwa primadona ini lahir kembali. Jadi, aku harus bahagia dengan wajah baru Tanjung. 

Mimpi ini untuk semua orang, untuk masyarakat Sadu khususnya. Setidaknya, setelah pelabuhan expor impor itu selesai, seluruh Indonesia akan mengenal Sadu. Seperti pelabuhan Tanjung Perak atau pelabuhan Tanjung Priok mungkin. Lalu, masyarakat Sadu akan terangkat perekonomiannya. Mereka akan lebih mudah menjual hasil pertanian dengan harga yang tinggi karena jarak ke pengumpul utama sudah dekat. Lalu, Jalan, Sekolah, Rumah Sakit akan lebih baik lagi. Kemungkinan juga, aku tidak akan menjadi katak dalam tempurung lagi. Heheww

Pantai Tanjung atau (mereka kenal) Ujung Jabung memang telah berubah. Namun, keindahan itu memang tidak dilihat dengan mata saja, tapi dengan rasa.  Anginnya masih sama, airnya juga -tapi tidak bisa ku janjikan pantai yang sama dan pohon-pohon peneduhnya-. Pemandangan pulau Berhala ketika teduh tetap sama. Yang berbeda hanya cara menikmatinya. 

Ada tembok keliling, entah untuk apa. Dibaliknya, di dalam tembok ada hamparan padang (sejenis) ilalang yang saling bersentuhan tertiup angin, cantik banget!. Pertama kali ke sana, aku bawa Santa dan Tiara yang datang dari Rasau dan Kuala Jambi. Mereka sudah kepo dengan Pantai Tanjung dari ceritaku dulu. Tapi waktu itu, aku menyarankan Pantai Remau Baku Tuo. Berhubung hujan, akhirnya aku ajak mereka kemari. Setidaknya biarkan rasa penasaran mereka selama ini menghilang.


Momen 2018 : Nge-guide mereka ke sini. Tiara perdana dan Santa untuk kedua kalinya dengan suasana yang berbeda. 

Kalian tau, mereka suka.

Nyatanya tempat ini Instagramable banget -bagi orang yang tau cara ngambil fotonya, bhahaha-. 

Ada dinding tembok berangka. Lihat deh, gayaku sok keren. wkwkwkw;
Momen 2018 : Sok sok candid ah 😆 

Padang rumput didalamnya yang tertiup angin. Masuk kedalam sini, kallian harus punya skill memanjat. Hati-hati ular, karena beberapa kali aku lihat kulit ular di dalam sini; 


Keliatan kan menara suar-nya?

Tiang besi yang mengecil di ujung laut. Beruntung, jika teduh (Ombak tidak besar) kamu bisa lihat  Pulau Berhala dari sini dengan towernya sekalian. 




Pembangunannya kini, tidak secepat yang ku kira. Menilik sejarah, Pelabuhan Tanjung Merak saja dari rencana ke realisasi bisa memakan waktu satu abad di jaman kompeni (abad 19-20). Entahlah, apa aku, kita dapat melihat pimpi itu menjadi nyata atau anak cucu kita kelak (Anak cucu?). 

Tanjung yang tidak ku labeli pantai lagi didepannya ini kharismanya tidak benar-benar hilang. Si Selebriti lawas ini tidak benar-benar mati. Aku senang mengakuinya. 😁 Kenangan-kenanganku, kenangan mereka, kenangan kami di masa lalu, masih tetap terpatri di ingatan bila kami ke sana atau sekedar mengingatnya. Jika berminat, datanglah sesekali. 

Ah, ini larut lagi, sudah memasuki pagi. Bercerita kenangan, aku lupa diri. Eniwei, terimakasih telah membaca ceritaku sejauh ini. Sampai jumpa lagi lain kali.

Assalamualaikum 🤗




Sabtu, 21 Juli 2018

Babussalam, Si Selebriti Eksotis Dari Air Hitam Laut


Assalamualaikum 😊 

Sebenarnya, aku adalah jenis orang yang suka bercerita, panjang kali lebar tapi mudahan-mudahan gak kali tinggi. Tapi, kali ini bingung mau cerita apa. Hihihii. Bukannya tidak ada yang mau di ceritakan, ini saking banyaknya bingung mulai dari mana. 

Oh, iya. Beberapa hari yang lalu, temanku si Arlan lagi misi rahasia jalan kaki di jalan penghubung desa dari Desa Sungai Jambat, Sungai Sayang, Remau Baku Tuo dan terakhir dia mengshare foto Pantai Babussalam, Desa Air Hitam Laut.


📷 Arlan Dahri

Semula salfok sama batu-batu yang ku fikir itu pantai Ujung Jabung dan onggokan materialnya (Sah bahasaku, bahahaaha). Aku baru ngeh bahwa Pantai Babussalam, batunya kotak-kotak. Sempat di protes, katanya batu kotak-kotak itu namanya break water dalam bahasa tekniknya. Ya, awam sepertiku mana tau lah ya.😑

Babussalam, pantainya aku sebut eksotis. Kenapa?, seumpama manusia pantai ini keren kayak om Will Smith yang warna kulitnya gelap-gelap gimana gitu. 




Pantai yang pasirnya berwarna hitam ini landai. Air lautnya berwarna coklat kehitaman dan aku yakin itu alasan kenapa desanya dinamakan Desa Air Hitam Laut. Tepian pantai, tumbuh jenis tanaman dan salah satu yang bikin aku takjub adalah Pohon Cemara!. Padahal kalian tau kan lagu anak-anak jaman dulu kayak gini :

Naik-naik ke Puncak gunung
Tinggi-tinggi sekali
Kiri kanan kulihat saja
Banyak pohon cemara ha haa (Ini improv, bukan ketawa ya)

Kan, katanya cemara itu adanya di puncak gunung, bukan di pantai. Nih, ya isi otak udah mikir kayak Darwin (itu yang evolusi manusia), mungkin saja dulu sebelum negara api menyerang, tempat ini (tempatku juga) adalah dataran tinggi yang terkena dampak mencairnya es di dua kutub karena serangan Pangeran Zuko.

Ah, ngawur!

Balik Ke Pantai Babussalam. Pantai keren ini menjadi wisata budaya tahunan andalan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan menjadi kebangaan Kecamatan Sadu. Mereka sebutnya Festival/ Mandi Safar. Kegiatan ini dilaksanakan setahun sekali setiap bulan safar. Kegiatan ini kabarnya dilaksanakan sebagai kegiatan tolak bala gitu lah. Mengesampingkan ritualnya, banyak orang-orang yang berbondong ke pantai ini dari kabupaten hingga Provinsi untuk menikmati momennya. Momen dimana kalian tidak saling kenal lalu di bopong rame-rame dan di ceburkan ke pantai. Hahahaha. Eits, jangan marah. Peraturannya emang kayak gitu. Jadi, bukan tidak mungkin kita bisa dapat banyak teman disini. Seru kan?.


Festival Mandi Safar 2016


Festival budaya ini sama kayak Songkran Festival di Thailand. Itu,siram-siraman air di jalan. Terakhir bareng si Dila ke sana, pas banget habis hujan seharian. Jalan kesana dari Desa Sungai Itik melewati tiga desa dan di Desa Sungai Sayang kami ambruk. Bhaahaha. Tidak berhasil deh mau kesana cantik-cantik. Dari pinggang ke kaki, lumpur!. Serasa MTMA dah!. 

Sampe disana, bagi yang lapar bisa langsung cari makan di tenda-tenda tepi pantai. Yang mau lihat hiburan dan doyan dangdut, boleh nongki didepan pentas (yang biasanya ada setiap tahun). Yang mau berenang, tinggal jalan cantik aja di bibir pantai. beberapa menit ada deh yang bopong kamu rame-rame trus di lempar kayak ngelempar karung sampah. Bahahaha. Pulangnya, tidak perlu mandi lagi. Sampe kerumah, baju udah kering di badan. Ajaib!.

Bagi yang tidak suka keramaian, bisa kok datang di lain waktu. Pantai Babussalam yang eksotis ini jadi kalem di hari-hari biasa. Biasanya sering kami datangi ketika lebaran bareng teman-teman SMA. 


Lebaran 2013 : (ki-ka) Nani, Mita, Via dan Aku 😆

Bawa bekal, trus makan rame-rame di pendopo yang tersedia disana. Ini seru juga. Biasanya juga pantai ini jadi tempat resing anak-anak motor sejenis kayak Boy Anak jalanan. Ahihihihi. 



Konvoi nih di pantai Air Hitam Laut 🤗


Tapi, daripada itu, nongki bareng teman emang paling seru deh disini. 


(ki - ka) : Afdal, Unus, Chandra, Herman, Mita, Nani, Maya, Aku, Zali dan Via

Oh iya. Ada lagi yang seru. Perjalanan ke Pantai ini, kami melewati jembatan gantung yang dibawahnya sungai berwarna hitam airnya. Beneran hitam kayak kopi. Katanya, di sungai yang bermuara di Taman Nasional Berbak itu banyak buayanya. Bayangin deh kalo jembatan gantungnya putus, buayanya tinggal mangap oiii.
Anak alay di kampung, eksisnya di jembatan 😂

Mandi Safar dua tahun lalu, jembatan ini di kawal pak pol ganteng biar kuota motor yang lewat gak melebihi target. Tetap aja, satu motor yang lewat aja ngeri apalagi rame-rame. Uh!. Kabarnya jembatan gantung ini sudah di ganti jadi jembatan permanen. Terbaik dah pemerintah setempat!

Panjang ya ceritaku 😄

Kalo berminat, datang aja. Bisa hubungi aku (yang ngaku ngaku jadi duta Sadu) jika butuh guide.

Ah, btw, aku tiba-tiba kangen teman-teman SMA 😮. 

Btw lagi, ini udah pagi. Sekian deh ceritaku. Terima kasih sudah membaca. Babaiii (jangan salfok bacanya) 

Assalamualaikum 🙋

Sungai Itik, 12.36 

Selasa, 12 Juni 2018

Salam Kenal Dari Sadu

Hulalala...

Assalamualaikum.

Semula tidak tau apa tujuan utama buat blog ini. Berhubung ke ingat saran lama seorang Alien yang kayaknya udah mandat akal gara-gara suntingan Wikipedia tidak bisa di publish. Jadi blog ini di alih fungsikan menjadi wadah untuk hmm -anggaplah- menyeloteh sambil memperkenalkan Sadu ke siapapun yang -sedang beruntung- membaca blog ini.

Kami -Aku dan sadu- berada di Provinsi Jambi (siapapun orang Indonesia yang membaca ini akan tau Jambi dimana). Tapi, sayangnya tidak semua orang Jambi tau bahwa ada kami disini menjadi bagian dari mereka. Sadu itu satu-satunya Kecamatan yang memiliki pantai dan berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Kami punya pantai, kami punya burung Migran, kami punya hutan Taman Nasional Berbak, dan kami punya kegiatan budaya tahunan -Mandi Safar-. Kami punya banyak hal untuk bisa mereka miliki. Tapi, tidak semua dari mereka menyadari keberadaan kami dan merasa memiliki kami. 

Ah, kok Jadi melo.

Payah!

Wkwkwkwk

Aku Wina Syahril, pagi ini dan untuk di kemudian hari, blog ini akan menjadi surat dari seekor katak dalam tempurung yang akan kalian baca. Surat dari pesisir pantai Jambi yang mungkin selama ini kehadirannya tidak pernah kalian sadari. 

Selamat membaca, selamat jatuh cinta -eh!- (Efek kebiasaan abis Up d WP)