Tulisanku datang lagi karena mood nulis lagi tinggi. Semoga kalian yang baca tulisan ini diberi semangat yaa untuk melanjutkan aktivitas hari ini.
Danau Kerinci senja hari |
Melihat draf rencana tahunan yang kubuat, Selain Project Dalam Negeri -yang berisi impian-impianku untuk memperkenalkan Sadu- aku juga punya project lain yang ku namai Project Katak dalam Tempurung. Project ini adalah project untuk mewujudkan mimpi-mimpiku ke luar dari tempurung. Yeay!. Jadi, dalam setahun minimal ada satu Project keluar dari Sadu dan belajar banyak hal lebih real di tempat itu. Bisa dibilang, ini project jalan-jalan keliling Indonesia -meski terlihat ngimpi-.
Kerinci!.
Meski masih di dalam Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Kerinci udah termasuk project yang amazing banget. Ini project ke tiga ku setelah yang pertama kalinya ada Banyuasin -yang ternyata isinya sama kayak sadu- dan ke Bangko yang endingnya haru biru. Aku ke kerinci ini bareng bos dan teman-teman kantor di BP3K Sadu tiga tahun yang lalu (Akhir 2016). Tujuannya kayak Field Trip gitu lah. Waktu itu kami berangkat satu mobil setelah acara tahunan Penyuluh, Temu Teknis. Ada bos, Pak Asril, Bang Bambang -Kasubag TU-, dua brother si Heri dan Sudik serta Pak Ketut. Emang aku cewek sorang-sorang, karena pada waktu itu emang aku satu-satunya penyuluh perempuan di Sadu. Kalo mikir itu aku gak jalan-jalan. Lagi pula mereka itu udah kayak keluarga di kantor.
Kami berangkat pagi sekali, sekitar jam setengah enam gitulah. Sebelum berangkat aku udah di bully duluan sama dua tukang bully Heri dan Kak Sudik. Suruh minum Antimo, nanti mabuk karena perjalanan bakal jauh. Uh, mereka remeh banget dah. Emang ya, orang laut sanggup naik kapal laut berjam-jam gak mabuk laut. Tapi di darat, belum tentu loh. Aku karena udah lama di kampung, gak pernah naek mobil lagi -seringnya naek speedboat sama pompong- khawatir juga. Jadi, nurut aja saran mereka untuk minum Antimo. Hahahaaha.
Selama perjalanan kami mampir-mampir ke beberapa tempat. Sarapan di rumah saudaranya Bang Bambang, Makan siang dirumah saudaranya Bos. Kata Bang bambang, jadi penyuluh itu kalo jalan-jalan kayak gini jangan takut lapar atau gak ada tempat nginap. Setiap desa di Indonesia ada penyuluhnya, kalo nyasar atau butuh bantuan hubungi saja penyuluhnya. Mereka pasti bantu. Bahkan katanya hubungan antar penyuluh lebih akrab daripada hubungan antar guru. Kalau di fikir-fikir ya, hampir semua penyuluh itu suka ngota (maksudnya suka ngobrol gitu loh -karena emang kerja kan gitu sama petani-), penyuluh juga suka berkenalan dengan orang-orang baru (karena kebiasaan kerjanya kayak gitu -wilayah baru, orang baru, keluarga-). Jadi kayaknya wajar kalau dia ngomong begitu. Tapi aku belum pernah coba. Hahahaha
Sebelum sampai ke Kerinci, Kami ke Geopark Merangin dulu. Geopark Merangin itu katanya tempat situs warisan peninggalan zaman purba (baru baca di gugel setelah pulang). Sewaktu kesana, aku gak
mikir bakal lihat batu-batu tua atau apa lah itu. Sampe sana aku takjub ada banyak pohon, hutan dan sungai berarus deras dengan bebatuan di dasarnya. Ini, persis banget dengan imajinasiku di novel My Stupid Brain's Story. Suara angin, suara sungai, suara burung, damaiiii baeudd. Rasanya aku mau bangun rumah di sana. Hohoho. Maklum lah, orang tepi laut kan emang gak pernah lihat kayak ginian.
Setelah puas ngambil bukti pernah ke sana, kami melanjutkan perjalanan. Nah perjalanan selanjutnya ini buat aku takjub takjub dan takjub banget. Jalanan yang berkelok, turun naik bahkan sampe telinga ngilu buatku ngucap. Subhanallah -Maha suci Allah-, rasanya terharu, pengen nangis eh, dahan-dahan pohon yang besar tumbuh di bawah tebing, di bawahnya sungai, di seberangnya mereka tumbuh menentramkan hati. Mereka kayak manusia yang hidup dengan wajah polos sepolos-polosnya. Rasanya pengen peluk, pengen ah padahal itu cuma pohon loh. Trus dari kejauhan bukit-bukit terlihat dari jauh, jalan yang kami lewati kayak ular yang sebagian hilang di balik bukit.
Di sepanjang perjalanan emang gak pernah berenti ngucap. Rasanya bersyukur banget masih di kasih Allah kesempat untuk melihat keindahan seperti ini. Rasanya, ini bukan di dunia. Emang ini terlihat lebay banget deh. Tapi, bagi orang laut yang tiap hari lihat sungai, laut, pantai, melihat sesuatu yang beda dan gak ada di tempatnya pasti akan takjub seperti ini. Kalau pun ada yang gak selebay itu, berarti aku emang benar-benar katak dalam tempurung akut!.
Duo tukang bully sempat bully katanya aku norak. Hahaha, masa bodoh lah. Memasuki perbatasan Kerinci, mereka udah senyap. Si Heri udah KO manggil Wak. Aku masih sempat bantu nyariin Salon Pas sebelum dia manggil Wak-nya. Kak Sudik udah pucat pasi, entah karena kedinginan atau gimana gak tau lah. Dipasangin Salon Pas juga sama Pak Ketut yang duduk di belakangnya. Setiba kami di perbatasan Kerinci -yang ada tulisan Kabupaten Kerinci itu loh- kami istirahat dan akhirnya Kak sudik manggil Waknya juga sembunyi-sembunyi tapi katehuan. Ngakak so hard. Tukang Bully yang kena batunya mereka. Hahahahaha.
Putih-putih itu bukan sarang laba-laba loh, tapi plastik hurufnya belum dilepas |
Emang ya ke Kerinci harus punya mental dan nyali kuat. Jalannya berkelok-kelok. Kiri tebing, kanan jurang. Wajar deh, kalo dalam perjalanan ini ada yang mabuk. Beruntungnya aku aman hahhaaha -mungkin karena fokusku keganti sama pohon dan bukit di sepanjang jalan-.
Jam lima sore kami sampe ke Danau Kerinci. Udaranya dingin banget, kalo di Sadu kayak hujan deras gitu. Kami mampir sebentar dan foto-foto disana. Menjelang Magrib kami melanjutkan perjalanan ke rumah saudaranya Bos dan menginap disana.
Danau Kerinci - saja foto tangan biar bukti kalo foto ini bukan nyomot di gugel |
Mandi?. Skip!!
Aku yakin perjalanan kami gak keringatan kok. Hahaha. Duh, dingin banget. Aku suka kerinci, tapi aku gak sanggup dingin kayak gini. Padahal kata Bos, dulu kerinci lebih dingin dari ini. Air minumnya dingin loh kayak minum es. Trus, alas kasur dan selimut yang di sediain kayak habis di masukin kulkas. Aku yang tiap hari berpanas-panasan sampe 34' celcius trus ketemu dengan suhu dingin Kerinci -16'C - 24'C- rasanya belum bisa beradaptasi. Pagi-paginya disuruh mandi karena mau jalan-jalan. Itu nyiksa banget!. Huhuhu.
Makan malam di Kerinci - (ki-ka) : Aku, Heri, Kak Sudik, Bang Bambang - Yang motoin Pak Ketut |
Bangun pagi, aku buka jendela rumah dan sekali lagi aku takjub!. Rumah saudaranya Bos ini kayak rumah lama, panggung dari kayu. Jadi, pas buka jendela atap-atap rumah tetangganya kelihatan dan bukit dibelakangnya juga terlihat lebih dekat. Lalu, awan-awan turun seolah dapat dicapai dengan tangan. Ya Allah, aku di ketinggian berapa meter ini sampe bisa lihat awan sedekat ini. Ini keren banget, menginspirasi dan aku akui untuk pertama kalinya aku terbesit ingin punya rumah di Kerinci! -mengabaikan suhunya yang dingin-.
Penampakan Bukit dan awan yang turun dari jendela |
Pagi sekali kami jalan-jalan ke BP3K Pondok Tinggi Kabupaten Sungai Penuh. Setauku, sungai Penuh dulu masuk kabupaten Kerinci. Trus pemekaran daerah gitu. Jadi BP3K yang kami datangi ini ada di Kabupaten Sungai Penuh. BP3K Pondok Tinggi waktu itu baru saja di bangun dan belum di resmikan. Disana kami di sambut sama penyuluh-penyuluh dari Pondok Tinggi. Banyak ceweknya loh, kan seru. Jadi, selama di ajak mereka jalan-jalan, aku di tarik ikut ke mobil mereka. Ada ibu Kepala BP3Knya bu El (Kalo gak salah, benar), kami sempat mampir kerumahnya dulu dan melihat pemanfaatan pekarangan rumahnya yang apik banget. Udah kayak di buku Bahasa Indonesia jaman dulu. Didepannya teras, viewnya sawah dan bukit hijau. Dibelakang rumahnya ada kolam ikan dan ternak unggas. Keren deh.
Kami Diajak jalan ke perkebunan kopi petani. Sambil kesana, kami mampir ke Bukit Khayangan. Di bukit khayangan aku spechless melihat jalan yang kami lewati sebelumnya mengecil di bawah sana. Danau Kerinci terlihat dari atas sini. Padahal tempat kami menginap di tepi Danau Kerinci loh. Mungkin bukit yang ku lihat dari jendela itu, ini kali ya. Wih, keren bangeett!.
Pak Bos, Penyuluh teladan di Kecamatan Pondok Tinggi, Petani Kopi dan Ibu El Kepala BP3K Pondok Tinggi.
Di sana, Kebun Kopi jadi primadona petani. Sama Halnya Pinang yang jadi primadona di Sadu. Beberapa tempat ada yang alih fungsi lahan dari perkebunan Teh menjadi Kopi (Kalo gak salah lihat lah ya). Emang kayaknya yang minat kopi lebih banyak dari pada teh. Cowok-cowok cool itu ngopi, bukan ngeteh. Buktinya Chicco Jericho kan gitu ya?.
Sehabis dari Kebun Kopi kami ke Stand Kopi yang di kelola oleh kelompok tani Kayo. Tingkatan mereka udah tinggi dari petani yang ada di Kecamatanku dengan mengelola hasil pertanian (kopi) mereka dan memasarkannya langsung. Jadi, harga sepenuhnya mereka yang nentukan dan gak tertekan dengan aturan pengumpul/toke. Mereka udah pake kartu nama, itu tandanya usaha mereka udah skala besar. Kami di Ajak melihat pengolahan kopi mereka, trus produk-produk yang mereka hasilkan dalam kemasan dan berkesempatan nyicip kopi yang katanya udah di pasarkan ke luar Sumatera. Keren!.
|
(ki-ka) : Bu En, Bang Bambang dan Ibu El memasuki ruangan pengelolaan kopi. |
Si bapak buat kopinya dengan perasaan. Kayak lagi lomba dan di lihatin juri gitu ya. |