Senin, 06 Agustus 2018

Penghujung Kenangan Ujung Jabung

Assalamualaikum. 🤗

Kali ini aku mau cerita tentang Ujung Jabung. Suatu tempat sejuta kenangan di sudut negeri Jambi. Bagi siapapun yang membaca ini, siapapun yang tau tempat yang ku maksud pasti akan membuka kembali kenangan di tempat ini. 

📷 Eki Ade




Ujung Jabung, sebagian orang menyebutnya Tanjung, Pantai Tanjung dan Pantai Ujung Jabung. Dulu sekali sewaktu kecil, aku dan orang-orang lain mengenal dan menyebutnya dengan Tanjung. Sebuah pantai pasir hitam yang terletak di salah satu sudut pulau sumatra, menjadi bagian dari Provinsi Jambi. 

Seperti yang ku tulis di Awal, menyebut nama itu buat aku (wajib) menapak tilas kenangan masa lalu (Ya, kali kenangan masa depan) tentang aku, orang-orang yang kukenal dan tentang Tanjung yang jadi fokus utama cerita ini. Oke, kita balik ke masa lalu.

Pantai Tanjung itu keren. Sepengetahuanku, Pantai ini sudah ada pada jaman Mak dan Bak masih ABeGe. Tempat dimana anak muda pada jamannya nongki-nongki (Nongkrong) menikmati angin laut sepoi-sepoi memadu asmara. Ecieee 😆. Aku pernah lihat nih, bukti fotonya mereka lagi jalan berduan di pantai. Berhubung barang lama, aku sudah lupa dimana nyimpannya. 

Nah, waktu kecil, setiap lebaran Pantai Tanjung selalu jadi destinasi wisata terfavorit pada zamannya. Dulu, belum ada jalan aspal seperti pada saat ini. Jadi, kami yang ingin kesana harus jalan kaki melewati perkebunan kelapa sejauh tujuh batang parit (ya?) (Lihat di peta, pemukiman pink didekat perbatasan ke ujung jabung jaraknya). Kalo difikir lagi, sekarang itu sudah jadi perjalanan yang melelahkan karena kita sudah terbiasa dengan segala akomodasi yang membuat semuanya menjadii lebih mudah dan lebih cepat. 

Ada dua opsi perjalanan pada masa itu, lewat jalur darat dengan sepeda atau jalan kaki dan lewat jalur laut dengan menyusuri tepian pantai menggunakan pompong. Perjalanan darat dengan berjalan kaki kira-kira memakan waktu satu jam lah -soalnya dulu waktu kecil tidak ngerti jam-jaman-. Perjalanan yang jauh itu kadang buat kami harus bawa bekal utamanya stok air minum. Meski bisa saja ya minum kelapa muda yang bisa di petik kapanpun dan di manapun di sepanjang jalan. Karena perginya rame-rame rasa capek selama perjalan terabaikan. Aku masih ingat jalan-jalan setapak di antara perkebunan kelapa dengan rumput dan semak setinggi  lutut hingga pinggang. Setapaknya ini, cuma bisa di lalui satu sepeda/sepeda motor (Jaman dulu yang punya motor bisa diitung jari).

Lewat jalur laut (Sebenarnya entah ini bisa disebut laut atau tidak), Pompong (kepal kecil) menyusuri tepian pantai (Lihat peta warna coklat susu dari tanda Rumah) menuju Parit 2 Sungai Itik dimana pemukiman cukup banyak berada di sana. Perjalanan menggunakan pompong kayaknya lebih cepat daripada jalan kaki. Cuma, karena menyusuri tepian pantai gelombang samping -bila angin kencang- terasa sangat mengganggu. Sebagai anak laut (Tsah!) ku beri tahu, gelombang samping buat pompong oleng ke kiri dan ke kanan, jika gelombang besar, beresikolah, pompongnya karam. Hahahahaha. Tapi, berhubung jalurnya dangkal, itu tidak seburuk yang aku ceritakan. Kalau mau dinikmati, hembusan angin laut dan salam sapa dari pohon-pohon mangrove dan habitatnya di tepian pantai membuat hari senang. 
Sketsa potensi desa (2013). 

Balik ke Pantai Tanjung!. Tahun dua ribuan (Ini bukan duit ya) Pantai Tanjung yang sempat vakum ngartis, jadi idola lagi. Jaman itu, orang-orang sudah mulai banyak punya kendaraan bermotor dan jalan ke sana sudah ada dalam wujud aspal, yey!. Waktu aku SMA (kira-kira tahun 2007-2010 lah), Pantai Tanjung jadi tempat kami para kawula muda (Et dah, bahasa lama ini, hihihi) nongki-nongki. Pulang sekolah kami bawa bekal dan makan di pondok-pondok yang ada disana. Bila air surut, kami akan jalan ke hujung pantai untuk mencari kerang atau sekedar selfie.

Pantai Tanjung masih jadi tempat ngumpul sama keluarga kalo lebaran. Seolah itu jadi tradisi bagi orang Sadu utamanya orang-orang di Desa Sungai Itik. Kami bawa makanan kesana dan ngumpul dari keluarga yang ada di sini sampe keluarga yang mudik lebaran. Seru deh!. Yang tua-tua duduk di bawah pohon, kadang bawa tikar dan kadang duduk di gelondongan kayu (dari berbagai jenis) mangrove yang tumbang karena erosi pantai. Yang muda, selfie dan sebagian berenang di pantai hitam yang warna airnya kontras itu. Di beberapa tempat kamu bisa melihat sejoli-sejoli yang nongki-nongki. Sebagian banyak anak alay, cabe-cabean dan fans fanatik pria tamvan se Indonesia (hahahaha😄). Seruuu banget. Memorable dah!. 


Momen 2013, lihat foto ini kebayang kan dengan apa yang aku tulis di atas?

Momen 2013 : Anak-anak berenang di pantai. Betewe sekarang mereka udah bukan anak-anak lagi. Hihihi

Tahun 2014, setelah pulang berkelana keluar dari tempurung aku masih melihat primadona ini masih eksis. Seumpama artis, dia itu seperti Meriam Bellina. Ku rasa dia terlalu terkenal. Dia terlalu terkenal, sehingga orang luar tertarik dan ingin membuatnya lebih terkenal. Tapi mereka memodif dan merubah fungsinya. 

Kami sebut dia Pantai Tanjung, lalu mereka sebut itu (Next) Pelabuhan Ujung Jabung. Sebuah mimpi mengawang pada primadona lawas ini. Tidak, sebenarnya ini tidak lagi mimpi karena mereka sudah mulai menyentuhnya untuk me-nyata-kan mimpi besar itu. Yap!, mimpi besar pelabuhan internasional (katanya). Dimana kegiatan expor Impor akan berlangsung disana (katanya).

Kini, Tidak ada pantai lagi. Sedih sebenarnya mengatakan ini. Pohon-pohon yang berjuang untuk tetap ada meski terkikis ombak akhirnya menyerah. Ku beri tahu, selama beberapa dekade (dua dekade doang) aku hidup dan melihat langsung perkembangan Tanjung, dia berusaha untuk tetap ada meski hidupnya ringkih. Setiap tahunnya ombak pantai mengikis tanah, hingga pohon pohon saksi bisu kenangan kami disana satu-persatu gugur. Mereka gugur terganti tiang-tiang besi yang tercacak hingga ke ujung mata memandang. Lalu, aku kehilangan kenangan yang tidak bisa aku ulang lagi. Sedih 😢. 

Bisa dibilang, aku, kami, generasi terakhir yang merasakan bahagianya nongki di Pantai Tanjung. Dibawah pohon, menulis nama di pantai, mengejar ikan tembakul, dan kelak anak cucu kami tidak bisa membayangkannya meski aku menulis ini panjang lebar. Kadang, aku menganggap bahwa aku adalah kaum Laggard (tidak bisa disebut kaum jika aku cuma sendiri). Kadang juga, aku membujuk diri bahwa primadona ini lahir kembali. Jadi, aku harus bahagia dengan wajah baru Tanjung. 

Mimpi ini untuk semua orang, untuk masyarakat Sadu khususnya. Setidaknya, setelah pelabuhan expor impor itu selesai, seluruh Indonesia akan mengenal Sadu. Seperti pelabuhan Tanjung Perak atau pelabuhan Tanjung Priok mungkin. Lalu, masyarakat Sadu akan terangkat perekonomiannya. Mereka akan lebih mudah menjual hasil pertanian dengan harga yang tinggi karena jarak ke pengumpul utama sudah dekat. Lalu, Jalan, Sekolah, Rumah Sakit akan lebih baik lagi. Kemungkinan juga, aku tidak akan menjadi katak dalam tempurung lagi. Heheww

Pantai Tanjung atau (mereka kenal) Ujung Jabung memang telah berubah. Namun, keindahan itu memang tidak dilihat dengan mata saja, tapi dengan rasa.  Anginnya masih sama, airnya juga -tapi tidak bisa ku janjikan pantai yang sama dan pohon-pohon peneduhnya-. Pemandangan pulau Berhala ketika teduh tetap sama. Yang berbeda hanya cara menikmatinya. 

Ada tembok keliling, entah untuk apa. Dibaliknya, di dalam tembok ada hamparan padang (sejenis) ilalang yang saling bersentuhan tertiup angin, cantik banget!. Pertama kali ke sana, aku bawa Santa dan Tiara yang datang dari Rasau dan Kuala Jambi. Mereka sudah kepo dengan Pantai Tanjung dari ceritaku dulu. Tapi waktu itu, aku menyarankan Pantai Remau Baku Tuo. Berhubung hujan, akhirnya aku ajak mereka kemari. Setidaknya biarkan rasa penasaran mereka selama ini menghilang.


Momen 2018 : Nge-guide mereka ke sini. Tiara perdana dan Santa untuk kedua kalinya dengan suasana yang berbeda. 

Kalian tau, mereka suka.

Nyatanya tempat ini Instagramable banget -bagi orang yang tau cara ngambil fotonya, bhahaha-. 

Ada dinding tembok berangka. Lihat deh, gayaku sok keren. wkwkwkw;
Momen 2018 : Sok sok candid ah 😆 

Padang rumput didalamnya yang tertiup angin. Masuk kedalam sini, kallian harus punya skill memanjat. Hati-hati ular, karena beberapa kali aku lihat kulit ular di dalam sini; 


Keliatan kan menara suar-nya?

Tiang besi yang mengecil di ujung laut. Beruntung, jika teduh (Ombak tidak besar) kamu bisa lihat  Pulau Berhala dari sini dengan towernya sekalian. 




Pembangunannya kini, tidak secepat yang ku kira. Menilik sejarah, Pelabuhan Tanjung Merak saja dari rencana ke realisasi bisa memakan waktu satu abad di jaman kompeni (abad 19-20). Entahlah, apa aku, kita dapat melihat pimpi itu menjadi nyata atau anak cucu kita kelak (Anak cucu?). 

Tanjung yang tidak ku labeli pantai lagi didepannya ini kharismanya tidak benar-benar hilang. Si Selebriti lawas ini tidak benar-benar mati. Aku senang mengakuinya. 😁 Kenangan-kenanganku, kenangan mereka, kenangan kami di masa lalu, masih tetap terpatri di ingatan bila kami ke sana atau sekedar mengingatnya. Jika berminat, datanglah sesekali. 

Ah, ini larut lagi, sudah memasuki pagi. Bercerita kenangan, aku lupa diri. Eniwei, terimakasih telah membaca ceritaku sejauh ini. Sampai jumpa lagi lain kali.

Assalamualaikum 🤗