Jumat, 23 November 2018

Kerinci, Negeri Khayangan di Provinsi Jambi

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh 

Tulisanku datang lagi karena mood nulis lagi tinggi. Semoga kalian yang baca tulisan ini diberi semangat yaa untuk melanjutkan aktivitas hari ini. 

Danau Kerinci senja hari


Melihat draf rencana tahunan yang kubuat, Selain Project Dalam Negeri -yang berisi impian-impianku untuk memperkenalkan Sadu- aku juga punya project lain yang ku namai Project Katak dalam Tempurung. Project ini adalah project untuk mewujudkan mimpi-mimpiku ke luar dari tempurung. Yeay!. Jadi, dalam setahun minimal ada satu Project keluar dari Sadu dan belajar banyak hal lebih real di tempat itu. Bisa dibilang, ini project jalan-jalan keliling Indonesia -meski terlihat ngimpi-.


Kerinci!.


Meski masih di dalam Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Kerinci udah termasuk project yang amazing banget. Ini project ke tiga ku setelah yang pertama kalinya ada Banyuasin -yang ternyata isinya sama kayak sadu- dan ke Bangko yang endingnya haru biru. Aku ke kerinci ini bareng bos dan teman-teman kantor di BP3K Sadu tiga tahun yang lalu (Akhir 2016). Tujuannya kayak Field Trip gitu lah. Waktu itu kami berangkat satu mobil setelah acara tahunan Penyuluh, Temu Teknis. Ada bos, Pak Asril, Bang Bambang -Kasubag TU-, dua brother si Heri dan Sudik serta Pak Ketut. Emang aku cewek sorang-sorang, karena pada waktu itu emang aku satu-satunya penyuluh perempuan di Sadu. Kalo mikir itu aku gak jalan-jalan. Lagi pula mereka itu udah kayak keluarga di kantor.

Kami berangkat pagi sekali, sekitar jam setengah enam gitulah. Sebelum berangkat aku udah di bully duluan sama dua tukang bully Heri dan Kak Sudik. Suruh minum Antimo, nanti mabuk karena perjalanan bakal jauh. Uh, mereka remeh banget dah. Emang ya, orang laut sanggup naik kapal laut berjam-jam gak mabuk laut. Tapi di darat, belum tentu loh. Aku karena udah lama di kampung, gak pernah naek mobil lagi -seringnya naek speedboat sama pompong- khawatir juga. Jadi, nurut aja saran mereka untuk minum Antimo. Hahahaaha.

Selama perjalanan kami mampir-mampir ke beberapa tempat. Sarapan di rumah saudaranya Bang Bambang, Makan siang dirumah saudaranya Bos. Kata Bang bambang, jadi penyuluh itu kalo jalan-jalan kayak gini jangan takut lapar atau gak ada tempat nginap. Setiap desa di Indonesia ada penyuluhnya, kalo nyasar atau butuh bantuan hubungi saja penyuluhnya. Mereka pasti bantu. Bahkan katanya hubungan antar penyuluh lebih akrab daripada hubungan antar guru. Kalau di fikir-fikir ya, hampir semua penyuluh itu suka ngota (maksudnya suka ngobrol gitu loh -karena emang kerja kan gitu sama petani-), penyuluh juga suka berkenalan dengan orang-orang baru (karena kebiasaan kerjanya kayak gitu -wilayah baru, orang baru, keluarga-). Jadi kayaknya wajar kalau dia ngomong begitu. Tapi aku belum pernah coba. Hahahaha

Sebelum sampai ke Kerinci, Kami ke Geopark Merangin dulu. Geopark Merangin itu katanya tempat situs warisan peninggalan zaman purba (baru baca di gugel setelah pulang). Sewaktu kesana, aku gak

mikir bakal lihat batu-batu tua atau apa lah itu. Sampe sana aku takjub ada banyak pohon, hutan dan sungai berarus deras dengan bebatuan di dasarnya. Ini, persis banget dengan imajinasiku di novel My Stupid Brain's Story. Suara angin, suara sungai, suara burung, damaiiii baeudd. Rasanya aku mau bangun rumah di sana. Hohoho. Maklum lah, orang tepi laut kan emang gak pernah lihat kayak ginian.

Setelah puas ngambil bukti pernah ke sana, kami melanjutkan perjalanan. Nah perjalanan selanjutnya ini buat aku takjub takjub dan takjub banget. Jalanan yang berkelok, turun naik bahkan sampe telinga ngilu buatku ngucap. Subhanallah -Maha suci Allah-, rasanya terharu, pengen nangis eh, dahan-dahan pohon yang besar tumbuh di bawah tebing, di bawahnya sungai, di seberangnya mereka tumbuh menentramkan hati. Mereka kayak manusia yang hidup dengan wajah polos sepolos-polosnya. Rasanya pengen peluk, pengen ah padahal itu cuma pohon loh. Trus dari kejauhan bukit-bukit terlihat dari jauh, jalan yang kami lewati kayak ular yang sebagian hilang di balik bukit.


Di sepanjang perjalanan emang gak pernah berenti ngucap. Rasanya bersyukur banget masih di kasih Allah kesempat untuk melihat keindahan seperti ini. Rasanya, ini bukan di dunia. Emang ini terlihat lebay banget deh. Tapi, bagi orang laut yang tiap hari lihat sungai, laut, pantai, melihat sesuatu yang beda dan gak ada di tempatnya pasti akan takjub seperti ini. Kalau pun ada yang gak selebay itu, berarti aku emang benar-benar katak dalam tempurung akut!.

Duo tukang bully sempat bully katanya aku norak. Hahaha, masa bodoh lah. Memasuki perbatasan Kerinci, mereka udah senyap. Si Heri udah KO manggil Wak. Aku masih sempat bantu nyariin Salon Pas sebelum dia manggil Wak-nya. Kak Sudik udah pucat pasi, entah karena kedinginan atau gimana gak tau lah. Dipasangin Salon Pas juga sama Pak Ketut yang duduk di belakangnya. Setiba kami di perbatasan Kerinci -yang ada tulisan Kabupaten Kerinci itu loh- kami istirahat dan akhirnya Kak sudik manggil Waknya juga sembunyi-sembunyi tapi katehuan. Ngakak so hard. Tukang Bully yang kena batunya mereka. Hahahahaha.


Putih-putih itu bukan sarang laba-laba loh, tapi plastik hurufnya belum dilepas



Emang ya ke Kerinci harus punya mental dan nyali kuat. Jalannya berkelok-kelok. Kiri tebing, kanan jurang. Wajar deh, kalo dalam perjalanan ini ada yang mabuk. Beruntungnya aku aman hahhaaha -mungkin karena fokusku keganti sama pohon dan bukit di sepanjang jalan-.


Jam lima sore kami sampe ke Danau Kerinci. Udaranya dingin banget, kalo di Sadu kayak hujan deras gitu. Kami mampir sebentar dan foto-foto disana. Menjelang Magrib kami melanjutkan perjalanan ke rumah saudaranya Bos dan menginap disana.


Danau Kerinci - saja foto tangan biar bukti kalo foto ini bukan nyomot di gugel


Mandi?. Skip!!


Aku yakin perjalanan kami gak keringatan kok. Hahaha. Duh, dingin banget. Aku suka kerinci, tapi aku gak sanggup dingin kayak gini. Padahal kata Bos, dulu kerinci lebih dingin dari ini. Air minumnya dingin loh kayak minum es. Trus, alas kasur dan selimut yang di sediain kayak habis di masukin kulkas. Aku yang tiap hari berpanas-panasan sampe 34' celcius trus ketemu dengan suhu dingin Kerinci -16'C - 24'C- rasanya belum bisa beradaptasi. Pagi-paginya disuruh mandi karena mau jalan-jalan. Itu nyiksa banget!. Huhuhu.


Makan malam di Kerinci - (ki-ka) : Aku, Heri, Kak Sudik, Bang Bambang - Yang motoin Pak Ketut


Bangun pagi, aku buka jendela rumah dan sekali lagi aku takjub!. Rumah saudaranya Bos ini kayak rumah lama, panggung dari kayu. Jadi, pas buka jendela atap-atap rumah tetangganya kelihatan dan bukit dibelakangnya juga terlihat lebih dekat. Lalu, awan-awan turun seolah dapat dicapai dengan tangan. Ya Allah, aku di ketinggian berapa meter ini sampe bisa lihat awan sedekat ini. Ini keren banget, menginspirasi dan aku akui untuk pertama kalinya aku terbesit ingin punya rumah di Kerinci! -mengabaikan suhunya yang dingin-.


Penampakan Bukit dan awan yang turun dari jendela



Pagi sekali kami jalan-jalan ke BP3K Pondok Tinggi Kabupaten Sungai Penuh. Setauku, sungai Penuh dulu masuk kabupaten Kerinci. Trus pemekaran daerah gitu. Jadi BP3K yang kami datangi ini ada di Kabupaten Sungai Penuh. BP3K Pondok Tinggi waktu itu baru saja di bangun dan belum di resmikan. Disana kami di sambut sama penyuluh-penyuluh dari Pondok Tinggi. Banyak ceweknya loh, kan seru. Jadi, selama di ajak mereka jalan-jalan, aku di tarik ikut ke mobil mereka. Ada ibu Kepala BP3Knya bu El (Kalo gak salah, benar), kami sempat mampir kerumahnya dulu dan melihat pemanfaatan pekarangan rumahnya yang apik banget. Udah kayak di buku Bahasa Indonesia jaman dulu. Didepannya teras, viewnya sawah dan bukit hijau. Dibelakang rumahnya ada kolam ikan dan ternak unggas. Keren deh.

Kami Diajak jalan ke perkebunan kopi petani. Sambil kesana, kami mampir ke Bukit Khayangan. Di bukit khayangan aku spechless melihat jalan yang kami lewati sebelumnya mengecil di bawah sana. Danau Kerinci terlihat dari atas sini. Padahal tempat kami menginap di tepi Danau Kerinci loh. Mungkin bukit yang ku lihat dari jendela itu, ini kali ya. Wih, keren bangeett!.


Danau Kerinci dari Bukit Khayangan seolah dapat disentuh dengan tangan


Puas ke Bukit Khayangan, kami menuju ke wilayah perkebunan kopi milik Petani di Pondok Tinggi. Perjalanan kami selama dan sejauh itu -bahkan menuju ke perkebunan masyarakat- kami lewati dengan mulus karena jalannya aspal sampe sana. Keren kan?. Nyuluh tanpa hambatan ini mah. Disana kami menemui petani kopi yang telah membesarkan kopinya seperti anak sendiri -eh-. Aku gak tanya-tanya sih kayak yang lain, aku lebih ke nyari lokasi foto, mengamati tempat baru dan curi dengar sedikit. Bapak ini kakinya di patuk ular loh. Katanya udah dua hari tapi gak di bawa berobat. Itu kakinya diikat doang pake kain. Duh, serasa Oom Hazen Audel  yang udah ahli banget di alam bebas. Saking nyantainya, masih bisa ngepul itu loh rokoknya. Emang gak sakit apa ya?. Jadi, karena curi dengar cerita bapak itu, aku yang keliling-keling mengamati spot bagus jadi ngeri mau kemana-mana. Kalau katanya di patuk ular itu tandanya mau nikah, itu artinya ngimpi!.

Pak Bos, Penyuluh teladan di Kecamatan Pondok Tinggi, Petani Kopi dan Ibu El Kepala BP3K Pondok Tinggi.


Di sana, Kebun Kopi jadi primadona petani. Sama Halnya Pinang yang jadi primadona di Sadu. Beberapa tempat ada yang alih fungsi lahan dari perkebunan Teh menjadi Kopi (Kalo gak salah lihat lah ya). Emang kayaknya yang minat kopi lebih banyak dari pada teh. Cowok-cowok cool itu ngopi, bukan ngeteh. Buktinya Chicco Jericho kan gitu ya?. 

Sehabis dari Kebun Kopi kami ke Stand Kopi yang di kelola oleh kelompok tani Kayo. Tingkatan mereka udah tinggi dari petani yang ada di Kecamatanku dengan mengelola hasil pertanian (kopi) mereka dan memasarkannya langsung. Jadi, harga sepenuhnya mereka yang nentukan dan gak tertekan dengan aturan pengumpul/toke. Mereka udah pake kartu nama, itu tandanya usaha mereka udah skala besar. Kami di Ajak melihat pengolahan kopi mereka, trus produk-produk yang mereka hasilkan dalam kemasan dan berkesempatan nyicip kopi yang katanya udah di pasarkan ke luar Sumatera. Keren!.

(ki-ka) : Bu En, Bang Bambang dan Ibu El memasuki ruangan pengelolaan kopi.

Si bapak buat kopinya dengan perasaan. Kayak lagi lomba dan di lihatin juri gitu ya. 

Nih kopinya warnanya kemerahan gini, bukan kayak yang biasa aku lihat.


Jadi, rasa kopinya asem. Hahahah. Sebenarnya aku alumni penikmat kopi hitam -sekarang udah pensiun gegara maag-. Tapi, taunya kopi AAA doang sama kopi buatan tangan nek jaman dulu. Kalo dibilang mungkin kopi jenis ini lagi tren-trennya ya. Tapi, sorry to say aku lebih suka kopi yang biasa di minum datuk dan petani-petaniku di kampung. Pahit, manis dan pekat.

Sehabis itu, kami jalan-jalan lagi ke ketemu petani kentang, petani bawang, dan petani lainnya. Bagi kamu yang gak tau, hampir sebagian besar sayuran yang kita konsumsi di Jambi emang berasal dari sana. Tomat, Cabe, Bawang, Kentang, Wortel, banyak lagi. Kalau ku bilang Kerinci -dan Sungai Penuh- adalah negeri khayangan, ya apa yang telah kulihat dan ku rasakan itu mewakili dan membenarkan semuanya. 

Pulangnya kami sempat mengunjungi Kayu Aro. Tempat yang dulu pengen aku datangi bareng babang Vino G Bastian. Ternyata di Kayu Aro lebih dingin dari yang kami duga. Mungkin karena cuaca pada saat itu gerimis, jadi suhunya dingin banget kayak malam kemarin. Awan-awan turun jadi kayak kabut. Aku ngebayangi film Twilligh dan film Vampire sejenisnya yang setting tempatnya minim cahaya matahari kayak gini. Ditambah lagi perkebunan teh yang tersusun kaku disepanjang perjalanan kami. Kayak di tatapin gitu loh. 

Tujuannya mau ke pemandian air panas, tapi berhubung ternyata kendali berada di bawah tanganku, akhirnya putar balik ke rumah saudara Bos. Tapi sebelum itu sempat mampir ke rumah penyuluh juga temannya bang Bambang dan kami cees bertiga menunggu boring mereka nostalgia semasa SPMA (seharusnya kita nostalgia juga masa kuliah tiga tahun lalu). Akhirnya pulang malam dan larut banget sampe rumah. Karena permintaanku juga mereka membatalkan niatnya untuk langsung ke Padang. Kayak simalakama, mau gimana lagi, lusa udah nikahnya kakak sahabatku (Kak Mah) udah di beliin baju bridesmaid (Baju kopel maksudnya loh) masa gak datang. Sementara mereka (aku juga sih) merasa aku perjalanan ini gak cukup. Belum puas rasanya lama-lama di sini (Maafkan Wina ya man teman, kalo kalian kebaca tulisan ini).

Subuhnya, kami pulang. dalam keadaan ngantuk dipaksa juga pulang biar bisa sampe sadu besoknya. Si Sastra (Menantunya Bos) yang bawa mobil patut di acungi jempol lah. Meski pada suatu kejadian kami hampir tabrakan sama minibus yang kayaknya ngantuk pas bawa mobil. Mana tepinya jurang lagi Ya Allah. Aku yang kaget dan was-was setelahnya teralihkan melihat awan-awan yang turun dan bisa ku sentuh dengan tangan. Aku bahkan mengabaikan mereka yang didalam mobil masih tidur, kedinginan karena aku buka kaca mobil.  Rasanya, uhhh ini benar-benar khayangan. Menulis ini aku masih ingat suasananya ketika itu, aromanya, dinginnya, awan-awan yang menggumpal berarakan, pohon-pohon dan lambaiannya. Seolah bilang "Kembali lagi kesini yaa"

"Ya, kalau ada orang Kerinci yang melamar" Bahahahahahaaha

Lah, ini udah pagi lagi. 
Cerita Project Katak Dalam Tempurung ini aku akhiri.
Aku berharap, suatu saat aku bisa ke Kerinci lagi.

Terimakasih sudah membaca. Tinggalkan jejak untuk ceritaku ini jika kamu berminat. Kritik, saran untuk tulisan ini dengan selapang-lapangnya dibuka.

Sampai jumpa di cerita Project Katak Dalam Tempurung-ku yang lain. Babaiiii.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. 🤗


Minggu, 18 November 2018

Si Mistis Romantis, Pantai Remau


Pantai Remau Baku Tuo - Wina Syahril


Hulla..!!

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh 🙏👋

Duh, rasanya lama banget gak nulis disini. Hohoho. Apapun, aku senang untuk mood dan ide yang tiba-tiba saja terlintas pagi ini utuk menulis di blog -padahal jadwal up novel di Wattpad hari ini loh. Padahal lagi nulisnya malam loh-. Semoga kamu yang sedang baca tulisanku ini selalu diberi kesehatan dan termotivasi hidupnya untuk menjadi lebih baik lagi, Yeyy 🤗. 

Oke, Pantai Remau.

Pantai Remau itu adalah salah satu pantai yang berada di Kecamatan Sadu. Terletak di Desa Remau Baku Tuo, kira-kira 29 km dari pusat pemerintahan kecamatan (sumber : Monografi Desa Remau Bakutuo 2018). Mengikuti jejak saudara-saudaranya yang sebelumnya telah ku ceritakan, Pantai ini gak beda jauh kerennya dengan Si Eksotis Babussalam dan Si Selebriti Jadul, Ujung Jabung. Aku mengenal pantai ini kira-kira sepuluh tahun terakhir -ketika SMA-. Maklum lah, katak dalam tempurung cuma bisa melihat dari lubang tempurung doang. Waks.

Pantai Remau 
Pantai Remau, memiliki pantai yang luas dan landai. Pasirnya hitam, airnya kecoklatan. Di tepian pantai ditumbuhi pohon cemara yang menurutku vegetasinya lebih banyak dari Pantai Babussalam. Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Desa membangun pendopo-pendopo kecil di tepian pantai sebagai tempat istirahat wisatawan yang datang kesana. Di banding keempat 'Maskot' wisata bahari-nya Sadu, Pantai Remau belum se-terkenal ketiga saudaranya. Termasuklah dalam hal ini Pantai Cemara yang jaraknya lebih jauh dari pusat pemerintahan -tapi tetap dekat di hati aku kok, fufufu-.

Pendopo di antara pepohonan cemara - Foto lama masih pake hape jadul

Setiap lebaran, baik itu Idul Adha maupun Idul Fitri Pantai ini menjadi tempat liburan semua kalangan. Termasuklah Kawula muda (et dah!) yang hobi balap motor. Yap, tempat ini langganan banget jadi (apa sebutan untuk tempat balap motor ya?) lokasi untuk balap motor, hahhaha. Pantainya yang landai, luas dan struktur tanahnya berpasir -tapi gak muddy- (maksudnya motornya gak terbenam gitu loh, hahaha bahasaku Ya Allah 😌). Selain itu, jadi tempat mejeng dong. Kalo udah musimnya, disana kamu gak kesulitan menemukan pasangan muda-mudi, tua-tuir yang menikmati momen di pantai itu. 

Wisatawan yang datang ketika libur lebaran Idul Adha. Pohon Cemaranya, rimbun kan?

Pengunjung yang antusias menonton balap motor di Pantai Remau
Pantai ini berhampiran dengan Taman Nasional Berbak loh. Dari pertama datang memasuki desa ini hal yang selalu membuatku berdebar adalah penampakan hutan yang keabu-abuan di sebelah kanan. Dingin, Kaku seolah menyimpan rahasia besar didalamnya. Melihatnya mengundang keingin tahuanku, bagaimana rasanya disana?. Mungkin tanaman disana gak ada yang hidup lagi setelah terjadi kebakaran beberapa tahun silam. Atau mungkin ada bibit-bibit kecil tumbuh di bawahnya yang gak terlihat. Pasti tempatnya menarik kan?. Jadi saksi hidup reinkarnasi pohon-pohon disana itu amazing pasti!. 

Bicara Sejarah .

Nama Remau Baku Tuo (desa yang punya pantai ini loh) di ambil dari kata Remau yang berarti Harimau (Dulu banyak Harimau kali karena emang dekat dengan TNB) dan Baku Tuo yang berarti Bakau Tua (Menuju pantai kamu emang ketemu sama bakau-bakau tua ini). Katanya, dulu penduduknya rame. Mereka bermukim di tepi pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan bercocok tanam (Padi). Namun, beberapa dekade terakhir mereka banyak yang pindah karena ceritanya banyak serangan Bajak Laut. Ada ceritanya, si istri pergi nonton -jaman dulu kan yang punya tv satu dua orang- pulang-pulang suaminya udah tewas di pondok mereka. Mengerikan!. Jadi menurutku wajar-wajar aja sih kalo penduduk pada masa itu memilih pindah. Gara-gara itu jumlah penduduk di Desa Remau Baku Tuo berkurang. Hingga kini, udah mulai ramai lagi dengan datangnya orang-orang Bali dari Lampung untuk bermukim di desa itu (Orang Jawa ada juga sih).

Sepengetahuanku, orang-orang lama yang bermukim di Desa Remau Baku Tuo adalah orang Bugis. Mayoritas mereka bermukim di bagian hilir dekat pantai. Aku pernah bicara empat mata dengan Kepala Desa Remau Baku Tuo -Pak Ambo Tuo- (nggak ding, 20 mata karena ada Babinsa, dua tamu dari Provinsi, dua Petani dan satu wanita tani serta dua anaknya), ceritanya ya kayak yang aku cerita (apaan sih, Hahaha). Dia cerita banyak hal mengenai pantai dan rencananya kedepan untuk mengembangkan pantai itu menjadi tempat wisata yang lebih keren lagi. Dari pada itu, aku teringat ceritanya bahwa ada pemakaman lama di tepi pantai yang gak tau makam siapa aja disitu. Ngewrii 😱. Jadi, Garis pantai ini katanya (kubaca dan ku dengar dari pengamat lingkungan, siapa coba?) setiap tahun semakin naik dan mengurangi luas daratan. Aku pernah cerita itu terjadi di Pantai Ujung Jabung dan pasti terjadi juga di Pantai Remau. Nalarku jalan nih, kemungkinan besar pemakaman di tepi pantai itu adalah tempat pemakaman orang-orang pertama di desa yang katanya tinggal di pinggir pantai. Karena mereka pindah, makanya gak ada lagi sanak saudaranya. Lalu (Deh, aku merinding 😨) jujur seingatku aku pernah melintasi tempat itu bareng teman-teman SMA ketika hendak menuju Pantai Remau -di bagian huluan-. Nisan-nisan yang (duh, kok malah cerita mistis sih!). Oke ceritanya aku skip!.

Oh iya, petaniku (Karena aku Penyuluh di desa ini) nanam Kacang tanah dan kedele loh tak jauh dari pantai ini. Sebenarnya kalau dijadiin Agrowisata, pasti keren banget. Datang ke pantai, panen Kacang atau Jagung, bakar atau rebus sendiri. Selain itu sekitar 50 m (mungkin) dari tepi pantai ada lahan cetak sawah seluas 55 hektar. Jadi, kalau beruntung kamu bisa mendapatkan dua spot foto keren. Apalagi kalau musim padi sedang menguning. Ah, asik banget. 

Nah, kan keren padinya kalo menguning gini. Dibelakangku, sudah kelihatan hutan mangrove dan suara ombak kedengaran dari sini. (Abaikan wajahku yang kusam dan hidungku yang ketarik pipi yak) 

Apa yang ada di pantai ini yang aku rekomend buat kamu-kamu yang baca dan ingin cari tempat liburan baru?. Ok, jangan harap Pendopo, karena udah gak ada lagi. Jangan harap ada tanaman Horti karena itu tergantung musim. Jangan pula berharap dapat dua spot foto Instagramable di lahan cetak sawah, karena beberapa tahun ini petani kami mengalami kegagalan (Gak apa-apa pak, asal jangan gagal dalam rumah tangga 😂). Aku rekomendasikan tempat ini bagi kamu yang ingin ketenangan, ingin pantai yang bersih, ingin balap motor, kemah, ataupun tempat reuni keren. Ah mungkin resepsi pernikanan yang romantis kalau mau 😍👩‍❤️‍💋‍👨. 

Tertarik untuk mengunjunginya?

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak setelah membaca ini yaa. 👇

Salam dari Sadu🙆

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.