Sok asik banget gaya ayuk yang neplok ke tiang itu. |
Haii, Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuhhhh.
Ih, gak nyangka ya akhirnya
ketemu lagi kita. Disaat aku lagi sibuk-sibuknya berperang (Cia ilaa, perang)
dan menyamankan diri dan hati setelah mencurahkan semua perasaan (gitu kan ya)
akhirnya aku menyempatkan diri menulis lagi disini.
Kali ini akuu akan cerita tentang
perjalananku yang udah lamaaa banget. Jauh sebelum babang covid-19 datang dan
jauh sebelum akhirnya aku berada di negeri Tali Undang Tambang Teliti,
Merangin. Cerita perjalananku ini masuk dalam salah satu cerita kerenku sejauh
ini. Yep, Ngetrip ke Simpang Bungur Taman Nasional Berbak Sembilang.
Oraitt, FYI Taman Nasional Berbak
Sembilang itu ada di Provinsi Jambi (kayaknya Sumsel juga deh). Dekat banget
dengan tempurungku, Sadu. Nah, awalnya saat pertama kali aku ngelihat fotonya
Camat Sadu pada waktu itu Pak Helmi Agustinius di Simpang Malaka Taman Nasional
Berbak. Pemandangan kiri kanan hutan dan jembatan kayu di dalam hutan itu keren
banget. Seriusan dah. Selama seperempat abad aku hidup di Sadu aku baru tahu
kalau di Air Hitam Laut menjadi gerbang masuk ke tempat keren itu.
Pernah ku cerita tentang
kekagumanku pada hutan TNB dari kejauhan di “Si Mistis Romantis Pantai Remau”.
Aku ingin masuk kedalamnya, melihat isinya, menghidu aromanya dan memeluk
pohonnya. Wah, gila banget deh segitu ambisinya aku pada TNB pada waktu itu.
Jadi, ku ceritakan rencana itu pada teman-teman di IG dan mendapat respon
positif oleh mereka. Hanya karena persiapan belum matang dan kami belum se-full
itu semangatnya, rencana itu melempam. Hahahaha.
Lalu, pada suatu hari Bos Ariel
cerita bagaimana perjalanan liburannya bersama teman-teman alumni SPMA (Sekolah pertanian gaes)-nya ke
Simpang Bungur, TN Berbak. Satu simpang lain yang letaknya di dekat Kecamatan
Rantau Rasau. Beliau bilang, disana ada pohon gede banget dikelilingi jembatan
kayu. Mendengar itu semangatku membara lagi. Lagi, di IG ku ceritakan rencana
kesana dan respon positif tentu saja. (Gaes, sumpah aku bersyukur kenal kalian
seumur hidupku). Dik juniorku di kantor (Besse Raden Ayu Lastari) bilang di
punya teman orang TNB ni untuk bisa dapat izin masuk kesana. Sekarang tinggal
mikirin ini alur perjalanannya kemana, pake apa dan siapa guidenya.
Lebaran Idul Fitri ke sekian,
berangkatlah kami dari Sadu dengan sepeda motor kala itu. Aku dan adikku Dila,
Via dan adiknya Udin, Ditha, Mita, Besse dan adiknya Luke, Herman dan Robi pada
waktu berangkat dengan bawa bekal karena kami pikir di hutan tidak ada toko
untuk belanja kalau-kalau lapar kan. Atas saran Yudha yang mengurus soal
transportasi masuk kesana dan guidenya, kami ke Simpang Bungur melewati Sungai
Palas, menuju Rasau Desa dan Sungai Rambut. Tidak ada jalan aspal disana dan
sialnya ada beberapa jalan pada waktu itu rusak parah. Sepatu, celana apalagi
motor habislah sudah terkena lumpur. Jenis tanah gambut yang berlubang dan berlumpur
itu memaksa kami mendorong motor untuk melewatinya. Belum lagi kondisinya licin
parah banget. Tapi ya, karena orang Sadu itu tangguh, kami melewati itu sambil
ngakak dan sempat-sempatnya foto-foto. Bahkan ni sampai insiden kecelakaan
gegara topinya si Ditha melayang. Hedeh. (Roby, maaf yo By. Khawatir pada waktu
itu pulang kena rutuk Wak).
Di jalan anti mainstream itu,
kami ketemu Yudha yang gerak dari Remau Baku Tuo. Setelah aman, lanjut kami ke
perjalanan ke Sungai Rambut dimana jalannya sudah lumayan baik, lebar dan
lurus. Sempat pula kami mampir ke rumah saudaranya Yudha buat lebaranan makan
kue. Wkwkwk. Di sungai rambut, kami berhenti di pelabuhan untuk nungguin
pamannya si Yudha yang bakal bawa kami ke Simpang bungur dengan kapal motor.
Lima menit menunggu dan ditemani ibu-ibu yang sedang nongki akhirnya kapal
motornya datang. Tapii, kamu tahu?. Ternyata kapal motor yang ku bayangkan
berbeda banget dengan kapal yang datang. Ternyata bukan kapal motor
(pompong) melainkan perahu ketek gaes.
Aku udah mulai was-was karena kami pada
waktu itu lebih sepuluh orang belum termasuk abang yang bawa anaknya dua orang.
Ngerii euy. Tapi karena kata abangnya aman, kami percaya aja dan tetap
ngelanjutin perjalanan. Nih ya, kalau bapak tahu aku ke Simpang bungur dengan ketek kayak gini bakal
gak diizinin.
Okee, dengan ketek yang biasa
dipake buat nyeberangin motor dari Rasau Desa ke Rasau itu kami menyusuri
sungai Batanghari yang luas (Mak ngeri-ngeri sedap kata orang melayu tu). Itu
ya, dari dinding ketek itu ke air Batanghari yang kecoklatan hanya sejengkal
gaes. Seriously!!. Selama perjalanan satu jam lebih memasuki kuala
sungai ke Simpang Bungur, situasi makin terancam. Huhuhuhu. Sampe kepikir mau
putar balik. Soalnya yang ngajak mereka itu kan aku.
Di awal masuk, ada gerbang
bertuliskan Taman Nasional Berbak Sembilang dari besi diatas sungai. Beberapa
monyet bermain di besi itu menatap kami yang mulai memasuki sungai dimanaaaa
airnya udah berwarna hitam. Sungai selebar kira-kira lima meter itu kami susuri
hingga makin dalam makin mengecil. Pohon-pohon kiri kanan seolah patung yang
menatap kami kaku. Tidak ada suara lain selain suara mesin jenset ketek. Tidak
ada yang berani bermain air di sepanjang jalan. Pohon yang tumbang hampir
menutupi separuh sungai membuat kami takut. Sesekali abang ketek terlihat
khawatir kipas keteknya patah karena terkena kayu. Dan seketika itu aku ingat
sama film Anaconda yang di Kalimantan itu. Ya Allah, mata ini mulai was was ke
pohon tepi sungai, lalu ke gerakan air sungai yang hitam, ke Eceng yang
mulai menutupi sebagian sungai. Di lain hal selain ular Anaconda, yang ku
pikirkan adalah bBuaya muara dan Sinyulong yang menjadikan TN Berbak sebagai
rumahnyaa. Sempat pada saat itu si Besse kelupaan nurunin tangannya mau maen air,
ditegur dan dia baru sadar. Hahaha. Cukup bertentang mata saja kami sama-sama
tahu apa yang ada di sungai ini.
Ketek yang membawa kami dan sungainya yang eksotis |
Satu jam kami menyusuri sungai kecil hitam dengan suara khas hutan dan nuansanya, akhirnya kami sampai ke Simpang Bungur dimana ada dermaga beton yang menjadi tempat kami berlabuh. Tak jauh dari sana kami ketemu kapal (pompong) yang lebih gede dimana ada abang-abang yang lagi mancing mania. Terus juga ada sepasang suami istri yang masuk menyusul kami dengan ketek kecilnya ke sungai yang lebih dalam.
Di dermaga itu langsung terhubung
dengan jembatan kayu yang sengaja dibuat untuk ngelilingi hutan. Dan itu
kereeeen banget. Masya Allah. Ada pos kecil tapi tertutup karena tidak ada
orangnya. Terus ada tempat gede kayak aula tanpa atap yag kayaknya dijadiin
tempat buat tegak tenda atau kegiatan lainnya deh. Jembatan itu teduh banget.
Mengelilinginya butuh waktu sat jam deh kayaknya. Ada menara kayunya juga,
daaaaan taraaaa ada pohon gedee yang diceritain bos Ariel dulu. Aku yang suka
peluk-peluk pohon langsung turun ke bawah dan peluk dia (pohonnya) sekalian
minta dipoto. Rasanya kalo bisa ngomong sama dia khan, mau ngucapin terima
kasih telah ada dan bertahan selama ini. Beri udara bagus, jaga anak-anaknya,
jaga aku, jaga kami. Bersyukur banget bisa ketemu dia ih. Senang pokoknya. Aku
sampe lupa sama perjalanan susur sungai itu sebelummnya. Disana kami berfoto
dong tentunya, menikmati hutan dengan jalan mulus jembatan kayu yang bagus,
teduh, asri, udara segar dan suara hutan yang damai banget. Seriusan dah, kamu
haru coba ke sini.
Pohon gedenya dan aku |
Di ujung jembatan lain yang menjadi dermaga |
Bekal yang kami bawa makan
disana, dibawah pohon di atas jembatan yang bersih. Itu seru banget. Sesuai
dengan yang aku pikirkan dan aku impikan. Aku malah berpikir kalau menginap dan
merasakan suasana malam di hutan keren kali ya?. Tapi mereka gak setuju.
Hahaha.
Hampir dua-tiga jam kami disana,
makan, solat dan berwudhu di ujung jembatan dimana airnya air coklat kehitaman.
Agak ngeri ini ya takutnya lagi wudhu di sambar buaya. Ihh. Ngeri. Tapi
mengesampingkan itu airnya sejuk banget dan itu cukup menenangkan menurutku.
Sehabis itu, kami pulaang.
Menyusuri sungai hitam itu keluar dengan perasaan yang puas. Di perjalanan kami
bertemu lagi dengan sepasang suami istri berusia lima puluhan tahun yang dengan
bangganya memamerkan udang Galah hasil pancingannya tadi. Wah, nongki romantis
ya mereka di TNBS. Keluar memasuki Sungai Batanghari, kami tak langsung pulang.
Melainkan menyeberang ke desa seberang yang termasuk wilayah adminitratif
Kecamatan Berbak. Ke tempat abang ketek hanya untuk apa?. yep, lebaranan.
Disana kami berburu jambu biji yang banyak tumbuh di tepian sungai. Tak
terjamah oleh masyarakat disana. Pulangnya, kami lalui kembali jalan tadi
dengan aman karena cuaca panas pada hari itu dan tiba di rumah hampir magrib.
Menikmati pemandangan hamparan sawah di Desa Simpang Datuk.
Aih seriusan deh, yang
kuceritakan ini aslinya lebih seru. Karena sudah dua tahun, ada banyak momen
yang sudah ku lupa. Setelah itu, kami berjanji buat menyusuri sungai di Simpang
Malaka TN Berbak suatu saat nanti. Namun, setelah perjalanan ke dua kami ke
Pantai Cemara sekaligus ke Simpang Malaka gagal, Kami tak berniat (maksudku)
berani melanjutkannya lagi setelah ada orang hilang di dalam sana ketika hendak memancing dan hingga saat ini gak
ditemukan. Ahh, ngeri banget deh. Kalo kalian ke TN Berbak Sembilang, hati-hati
ya. Sebelumnya minta izin dulu ke petugasnya biar aman dan jangan lupa pake
atau bawa orang yang sudah biasa kesana. Yang tahu seluk beluknya juga.
Ah, ini udah larut lagi. Lagi dan
lagi. Sepertinya blog ini memang dibuat khusus dini hari. Sekian ceritaku
tentang Simpang Bungur. Tunggu cerita ngetripku lainnya yaaa. Tetap jaga
kesehatan, ingat masih banyak negeri yang harus kita jelajahi dan kita lihat
dengan mata kepala sendiri. Semoga pandemi ini semoga berakhir dan semoga aku
masih punya banyak teman untuk ngetrip. Hahahaha
Siiyuuuu, babaiiii
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Ki-Ka : Luke, Roby, Udin, Mans, Yudha, Mita, Besse, Dila, Via, Ditha dan aku |
Seleb caknya dah. huuhu |
Kalian keren |